Part 7

39 12 2
                                    

Permisi... Sebelum baca cuma mau ngingetin supaya follow dulu akun ini ya. Sambil baca jangan lupa tinggalin jejak dengan berkomentar+tekan⭐ supaya penulis tahu perasaan kalian setelah membaca... Makasih

Ig: Melaheyko

(Sedikit tambahan buat yang belum baca cerita ver lengkap USTADZ MUDA ITU SUAMIKU bisa dibaca di aplikasi Karyakarsa dan KBM app. Cari akun dengan nama yang sama/langsung ke judul cerita..Kamu juga bisa baca cerita karya Melaheyko yang lain di apk Karyakarsa lho😁)
******

Di sisi lain orang tuanya yang sibuk memikirkan uang sisa yang semakin menipis. Arafah malah sibuk merenung dan menangis, sekarang ini dia sedang melamun di sebuah saung. Menatap nanar ke arah sungai yang berarus deras, semalam hujan lebat, tak heran sungai berubah menjadi coklat keruh airnya.

Putus asa adalah teman yang nyata. Jika sebelumnya dia bergelimang harta, sekarang malah sendiri dan sibuk bermuram durja. Ke mana dan di mana teman-temannya yang banyak itu? Yang selalu meminta traktiran ini itu ketika dia berpunya?

Sifat asli manusia memang selalu nyata terlihat ketika berurusan dengan yang namanya uang.

Arafah bersandar pada bilik saung yang terbuat dari anyaman bambu, semakin dalam dia hanyut dalam lamunannya. Semakin melayang juga isi kepalanya ke mana-mana. Lenyap, dia bahkan beberapa kali memikirkan untuk melenyapkan diri dari kemiskinan yang menyiksanya.

Di tempat yang sama, dua pria memperhatikannya. Mereka adalah Munir dan temanya Gopal. Munir menganga melihat kecantikan tak biasa yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

Gadis cantik berambut coklat muda itu begitu menggugah seleranya.

“Siapa itu, Pal?” bisik Munir sambil cengar-cengir.

Gopal mengangkat bahunya, “Nggak tahu. Aku juga baru ngelihat.”

“Buseeet! Bening, cakep.” Kepala Munir menggeleng-geleng, dia begitu takjub melihat pemandangan yang tak jauh darinya itu. “Cari tahu siapa dia, Pal. Kayaknya kalau nikah buru-buru sama modelan ceweknya yang begini, aku sih nggak masalah.” Dia melanjutkan sambil tersenyum mesum.

 “Kenalan aja sana.” Gopal mendorong-dorong bahu Munir dan Munir menahan diri. Gopal berhenti ketika Munir melotot padanya.

“Ya kali lagi keadaan kucel begini? Nanti ajalah, harus siap-siap dulu.” Munir menaikkan satu alisnya dan Gopal menghela napas. Memang selalu ingin terlihat sempurna ketika berhadapan dengan gadis cantik si Munir ini. Padahal, sekarang dia sedang dekat dengan seorang gadis yang tak lain adalah Andin.

Munir terus saja diam, memerhatikan Arafah dan baru dia sadari bahwa gadis cantik itu sedang bersedih.

Lama kelamaan Arafah juga menyadari ada dua pria di balik pohon kelapa. Risi, Arafah pun mendelik tajam dan bangkit untuk segera meninggalkan tempat ternyaman ketika merenung itu. Arafah kesal, pergi sambil mencak-mencak karena merasa terganggu.

****

“Bagaimana kabar keluargamu, As?” ujar seorang lelaki tua, dia pemilik sekaligus penerus pondok pesantren terkenal di tanah Jawa tersebut. Pak Kyai Subur, sosok pemimpin pondok yang sangat dihormati oleh Asyrafi.

Asyrafi tersenyum tipis. “Semuanya baik, Pak Kyai. Beberapa waktu lalu, ibu saya juga sempat datang ke rumah dan menginap.”

Pak Kyai mangut-mangut, dan Asyrafi merasa lega karena melihat kondisi sang guru yang semakin pulih setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit dan semalam baru dipulangkan.

Melihat kondisi gurunya membaik juga membuat Asyrafi berniat untuk pulang lebih cepat. Karena sebentar lagi kebunnya sudah siap untuk dipanen, Adam tidak akan mampu mengurusinya sendiri apalagi perihal uang.

“Apa kesibukanmu sekarang, As? Apa nggak ke pikiran soal menolak tawaran baik dari sebuah perusahaan besar di Jakarta tempo hari?” tanya Pak Kyai kemudian menoleh sekilas ke arah pintu, entah apa yang sedang dia tunggu.

Asyrafi menggeleng kepala pelan. “Sibuk mengurus kebun saja sudah sangat cukup, Pak Kyai. Terlebih, sebentar lagi saya mau buka pengajian untuk anak-anak sekitar rumah.”

“Masha Allah.” Pak Kyai begitu senang dan bangga mendengarnya.

“Mohon doanya, Pak Kyai.” Asyrafi tersenyum tipis.

“Selalu, mudah-mudahan semuanya lancar.” Pak Kyai tersenyum lebar dan Asyrafi mengamini.

Tiba-tiba kedatangan dua orang dari dalam rumah Pak Kyai membuat keduanya sama-sama menoleh. Itu istri dan anak bungsu Pak Kyai, Bu Nyai Maisarah langsung tersenyum dan Asyrafi membalas. Entah apa yang dikatakan Bu Nyai, Asyrafi tidak bisa mendengar, tetapi anak bungsu tuan rumah yaitu Ning Hafshah langsung mendekat dengan wajah tertunduk dan kedua tangan memegang nampan. Untuk pertama kali setelah kepulangannya menuntut ilmu di tanah arab bertemu dengan sosok Asyrafi yang begitu membuatnya pangling, begitu juga Asyrafi, dia hampir tak ingat dengan sosok gadis ini yang dulu suka sekali membuatnya kesal karena hobi menimpali ucapannya.

“Iya simpan di situ,” perintah Pak Kyai.

Satu-persatu gelas berisi teh hangat dan piring berisi kue lapis legit dihidangkan oleh Hafshah.

“Apa kamu masih ingat dengan anak saya yang ini, As?” kata Pak Kyai melanjutkan.

Asyrafi menyimpul senyum. “Justru saya hampir lupa, Pak Kyai.”

Pak Kyai dan istrinya terkekeh pelan, sementara Hafshah terlihat menahan.

“Saya juga begitu. Dia hanya pulang setahun sekali, sekarang dia sudah besar.” Pak Kyai menatap Hafshah kemudian Hafshah undur diri tanpa kata.

“Silahkan dicicip, Nak As.” Bu Nyai berseru lemah lembut.

“Terima kasih, Bu Nyai.” Asyrafi mengangguk kecil.

Bu Nyai dan Hafshah berlalu meninggalkan Asyrafi dan Pak Kyai.

Pak Kyai mempersilakan Asyrafi untuk menikmati apa yang terhidang. Asyrafi pun menurutinya dengan gerakan ragu-ragu sampai keheningan tidak sadari menyelimuti keduanya beberapa menit.

Pak Kyai kembali berbicara.

“Bagaimana, As?” kata Pak Kyai yang langsung ditanggapi Asyrafi dengan tatapan bingung. Ia kurang paham apa yang ditanyakan gurunya ini. Melihat Asyrafi menaikkan kedua alisnya bingung, Pak Kyai kembali melanjutkan. “Sudah ada bayangan akan menikah tahun ini?”

Asyrafi yang sedang mengunyah kue hampir tersedak, Pak Kyai tersenyum lebar melihatnya.

Asyrafi menggeleng. “Sama sekali belum, Pak Kyai. Mohon doanya juga untuk yang satu ini karena ibu saya setiap menelepon selalu bertanya-tanya.”

Pak Kyai terkekeh-kekeh renyah.

“Wajar. Semua orang tua memang begitu, apalagi usiamu sekarang sudah sangat cukup. Bagaimana dengan mental dan persiapan ilmu pernikahan, apa kamu sudah merasa cukup, As?”

Asyrafi menggeleng, seketika gurunya itu dibuat mengerutkan kening dalam-dalam.

“Saya mempersiapkan semuanya dan berusaha yang terbaik, Pak Kyai. Tapi merasa cukup atau tidaknya, saya belum bisa memastikan karena pernikahan bukan sebuah perjalanan yang bisa disangka-sangka bagaimana rumit dan entengnya.”

Pak Kyai mangut-mangut sambil tersenyum. Merasa sekarang adalah waktu yang sangat pas.

“Sejujurnya, kedatangan kamu sekarang ini membuat saya tenang, As.”

Asyrafi hanya memandang, tak paham.

Asyrafi Where stories live. Discover now