[ 14 ] - Alif Marah

27 2 0
                                    

::: Rabu, 14 Juni 2023 :::

"Buat cerita tentang Jumat Kliwon. Dilarang bergenre horor."

• • • o O o • • •

::: Cerita Lepas - Detektif Hijaiyah :::
[ Not Published Yet ]

"Alifa?"

Gadis pemilik nama yang baru saja disebut bergeming.

"Nak," Bu Rumi mereka gelar; perlahan mendekatkan jejak menuju sosok yang tak mengindahkannya sedari awal ia memanggil, "Ada apa? Kenapa nggak mau makan?"

Suara tersebut mendayu bujuk. Niat awalnya yang sama sekali tak mau membeberkan sebab perilaku yang ia tunjukkan saat ini, perlahan-lahan membuyar jua. Arah tubuhnya berbalik menghadap seorang wanita separuh baya yang baru saja duduk di tepi kasur tempat ia merebahkan diri.

"Eh, kok mata kamu sembab nak? Habis menangis kamu?" kejut Bu Rumi.

Alifaーgadis berumur sembilan tahun ituーmenganggukkan kepala.

"Kenapa? Siapa yang buat kamu menangis?" Bu Rumi cukup tercengang. Pasalnya, Alifa adalah gadis kecil yang ia kenal jarang sekali menangis. Sekaliーyakni ketika titik balik terjadi dalam kehidupan Alifa dan kakak laki-lakinya, pun dengan ia dan suaminya, Rehan. Selebihnya, hanya saat Alifa menjadi bayi yang belum tahu apa-apa.

Alifa kelihatan sekali tidak ingin menjawab. Bibirnya mengerucut lucu, membuat Bu Rumi gemas seandainya gadis di hadapannya tidak sedang dalam keadaan bersedih.

"Ya sudah kalau nggak mau memberi tahu," Bu Rumi mengalah, "Tapi jangan sampai kesedihan kamu buat kamu jadi mogok makan. Nanti perutnya sakit, 'kan, kasihan."

Alih-alih membalas pernyataan Bu Rumi, Alifa malah menanyakan sesuatu yang lain, "Bang Alif ada?"

"Ada nak, baru aja abangmu keluar dari kamarnya. Ayo makan sama-sama!"

Detik itu, Bu Rumi sadar, bahwa kegundahan Alifa sepertinya bersumber dari seseorang yang menjadi topik pembicaraan mereka. Terbukti, setelahnya, Alifa malah kembali membalik hadap ke arah tembok, lanjut pada aktivitas mulanya seraya berucap, "Nanti aja Ifa makannya. Setelah Bang Alif makan. Maksudnya Bu Rumi dan Pak Rehan juga."

Bu Rumi paham, bahwa satu-satunya solusi agar Alifa pulih dari kepiluannya ialah ketika sosok yang menjadi sumber perkaranyalah yang menemui dan berbicara langsung dengan sang adik. Kebetulan sekaliーatau memang sudah sepatutnyaーmanusia yang tengah dibincangkan memunculkan sedikit presensinya di celah pintu, mencuri-dengar percakapan yang berlangsung dari beberapa detik lalu.

Goyangan pada kasur menandakan Bu Rumi telah bangkit dari duduknya, "Ya sudah, saya keluar dulu ya. Jangan sampai nggak makan, ya nak."

Hening selepas pintu kayu berderik. Alifa yakin bahwa ia kini sendiri, ketika helaan napasnya menyusul keterkagetan kemudian bersamaan dengan sorot yang menangkap kehadiran sosok yang sama sekali tak ingin ia jumpai.

Alif berdiri di tepi kasur, menatap gelagat sang adik yang mulai kikuk. Roman wajahnya datar, tak seperti ia yang biasa, membuat Alifa makin kicep dibuatnya.

"I-ifa udah nggak percaya kok, sama gendruwo yang katanya turun pas malam Jumat Kliwon! Abang jangan marah lagi, Ifa udah nggak percaya apa kata teman-teman Ifa, dan nggak akan pernah percaya lagi."

Alif menghela napas pelan, akhirnya mendudukkan diri di posisi yang sama persis dengan posisi duduknya Bu Rumi tadi, "Ifa."

"I-iya," gadis itu menyahut, namun dengan gelagat yang masih menyiratkan perasaan enggan dan sedikit kecewa.

"Semua dosa bisa diampuni jika Allah menghendaki, kecuali satu. Dosa apa itu?"

"D-dosa s-syirik," gagapnya.

"Dalilnya?"

"Surah an-Nisaa'. L-lupa ayat berapa."

"Ayat seratus enam belas. Nah," anak lelaki itu seperti menghidupkan lampu, "Menurut Ifa, kenapa Abang tiba-tiba membahas dosa syirik?"

"

Karena percaya sama omongan teman Ifa itu syirik?"

"Karena percaya mengenai Jumat Kliwon dan antek-antek informasi mistis lain tentangnya, yang pada dasarnya nggak sesuai dengan ajaran dalam agama Islam, itu disebut syirik," Alif membetulkan, "Hal kayak gitu cuman perkara yang dibuat-buat manusia nggak bertanggung jawab. Teman Ifa sebenarnya sama seperti Ifa, sama-sama nggak tahu. Menelan mentah-mentah informasi palsu, dan bahkan hampir mau menjalankan ritualnya."

"Bukan Ifa! Teman-teman Ifa yang nggak mau keluar malam, dan nyuci-nyuci kris bapak mereka segala, Ifa 'kan cuman bilang ke abang," sergahnya.

"Ya tapi, kamu bilang begitu, supaya Abang mau Ifa ikut-ikut perbuatan mereka, 'kan?" Ifa kembali menciut, "Ifa juga harus tahu, menakut-nakuti itu hukumnya nggak halal dilakuin oleh seorang muslim kepada muslim yang lain lho. Abang belum pernah beri tahu, itu ada dalam hadist Nabi Shalallahu alaihi wassalam."

"Hiks."

Tiba-tiba saja, keadaan berbalik. Alif malah bingung kepalang, melihat sang adik mengeluarkan air mata dan senggukan secara mendadak, "Eh! Jangan menangis lagi, dong, Fa."

"M-maafin, hiks! If-fa, hiks! Ifa j-janji, ng-nggak bakalan, hiks! Syirik, lagi! I-ifa, takut m-masuk, hiks! neraka, s-sa-ma, marahnya a-abang," gagu gadis itu berucap diselang tangisnya.

"I-iya Ifa, sudah ya," waktu habis dibuat untuk menenangkan Alifa. Setelahnya, barulah Alif mengaku.

"Abang minta maaf ya, Fa. Abang nggak maksud marah sampai bentak kamu tadi sore, Abang cuman nggak mau kamu terjerumus ke dalam hal yang nggak baik bagi kamu."

"I-iya bang, nggak papa. Lain kali Ifa maafkan kalau Abang marah. Tapi kalau Abang sampai bentak Ifa, Ifa bakal ngambek," dan yang terakhir itu, malah membocorkan tawa Alif yang ia tahan sedari tadi agar Alifa menyadari kemarahannya.

- Day 14: End -

• • • o O o • • •

Iya, saya sendiri sudah nggak paham lagi sama alur. Di sini, saya coba memfokuskan sama isi yang mau disampaikan aja, semoga membekas yaa!

14 Juni 2023

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 14, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Vivere Militare Est Where stories live. Discover now