I. Sometimes we pretend like we're okay, but we're not.

1.2K 68 1
                                    

Sagara Bhiru Vishaka

Jari jemari gue langsung berhenti bergerak di atas keyboard laptop ketika mendengar pengumuman bahwa pesawat yang sekarang gue tumpangi akan mendarat sebentar lagi. Setelah mendengar pengumuman itu, gue langsung merapikan barang-barang yang tadinya gue keluarkan dari tas. Ketika gue merasa semua barang sudah masuk ke dalam tas dan nggak ada yang tertinggal, gue sedikit meregangkan badan, berusaha untuk menghilangkan kantuk yang sudah dari tadi gue tahan. Sengaja gue nggak tidur sejak pesawat ini lepas landas 12 jam yang lalu, karena gue memutuskan untuk mengistirahatkan mata gue di penerbangan gue selanjutnya dari DOH menuju CGK. Menurut gue, ini adalah saran yang cukup berguna, mencari penerbangan yang sebisa mungkin akan menyesuaikan jam tidur gue dengan perbedaan waktu yang signifikan di tempat tujuan.

Setelah menghabiskan kurang lebih dua tahun untuk menambahkan gelar M.Arch di belakang nama gue, gue menambah satu tahun lagi tinggal di Massachusetts untuk intern sebelum kembali ke Indonesia. Sebenarnya gue bisa aja melakukan intern atau bahkan langsung kerja full-time di Indonesia, tapi rasanya sayang aja kalau gue langsung kembali ke Indonesia tanpa explore lebih tentang latar belakang bangunan-bangunan yang ada di Massachusetts — walapun sebenarnya gue punya alasan lain kenapa gue menunda kepulangan gue. Di antara semua branch yang Signed Architect tawarkan ke gue, entah kenapa gue memilih Bali — bahkan proyek yang sekarang gue pegang pun, gue ambil karena lokasinya di Bali. Gue nggak mau kembali bergantung ke rumah gue, tapi gue juga nggak mau terlalu jauh dari rumah, ya... gue memilih Bali karena nggak terlalu jauh dari Jakarta dan Surabaya — tempat keluarga gue. Andaikan mereka menanyakan branch yang ingin gue tempati tiga tahun lalu, mungkin tanpa basa-basi gue langsung memilih Singapore. Untuk alasannya... I prefer not to talk about it now. Gue pikir, gue sudah lupa akan hal itu, ternyata masih terekam jelas di kepala gue dan masih ada rasa penyesalan yang sudah gue simpan dalam-dalam selama tiga tahun terakhir.

"Sampe Soetta langsung ke Bali banget?" Baru gue menggeser tombol hijau untuk mengangkat telepon dari adik gue satu-satunya ini, ia langsung membombardir gue dengan pertanyaan yang sebenarnya dia sendiri juga sudah tau apa jawabannya. "Nggak mau stay seminggu dulu? Aku Jum'at depan pulang loh, Mas."

"You don't even bother to say hello?" Kepala gue masih terlalu berat untuk bermanis-manis ria dan gue pikir Jemima pasti akan sadar dengan hal itu, karena dia pasti baru menghubungi gue sekarang setelah memastikan pesawat gue sudah landing.

Gue bisa mendengar helaan napas kasar dari Jemima. "Halo, Mas."

"Kenapa, Mima?" Kali ini suara gue melembut. Mata gue sibuk mencari gate penerbangan lanjutan. Gue memilih penerbangan dengan waktu layover sesebentar mungkin, karena satu jam lagi gue sudah boarding lagi menuju CGK. "Tadi kamu nanya apa?" tanya gue lagi ketika nggak mendengar suara Jemima sama sekali.

"Mas, nanti pas sampai Soetta langsung ke Bali?" kali ini ia bertanya dengan nada yang cukup santai, nggak seperti tadi. "Aku baru ingat kalau kamu flight dari Boston tuh minggu ini, aku kira masih minggu depan."

"Nggak, Mas pulang dulu ke rumah," jawab gue seadanya.

"Sampai kapan?"

"Cuma semalam. Minggu sore flight lagi ke Bali, seninnya ada meeting." Seberusaha mungkin gue menjelaskan dengan detail agar nggak ada lagi pertanyaan lanjutan.

"Aku hari ini cari flight ke Jakarta deh," ucapnya tiba-tiba.

"Buat apa?" Gue mengernyitkan dahi memperlihatkan wajah bingung gue, walaupun Jemima nggak akan melihat hal itu. "Ngapain ke Jakarta? Kamu lagi sibuk thesis, 'kan?"

how far can we go?Where stories live. Discover now