II. Time passes, but we remain in the same place.

490 57 1
                                    

Raina Kirana Namari

I thought I was fine all these three years until I met him. Entahlah, aku terus berpikir apa ini keputusan yang tepat atau aku sekarang sedang menyesali sepenuhnya. Berpura-pura di depan Sagara pun rasanya susah setengah mati. We act like we do not know each other, but it feels like I'm the only one who suffers this hard. Rasanya nggak adil kalau cuma aku yang merasa seperti ini. Andai aku bisa memutar waktu, aku akan bodo amat dengan apapun keuntungan yang bisa aku dapatkan dengan mengambil tawaran ini.

"Rain," panggil Zidane, menyadarkanku dari lamunan. "Dari tadi gue panggil, tapi nggak nyaut-nyaut. Mikirin apaan?"

Aku menggelengkan kepala, nggak berniat untuk menjawab pertanyaan dari Zidane. "Kenapa, Dane?"

"Lo megang interiorscaping juga, Rain?" tanya Zidane, ia duduk di kubikel depanku. Aku sudah lumayan lama kenal Zidane, kami berdua masuk ke Signed di tahun yang sama, tapi aku nggak begitu akrab dengan Zidane, selain karena aku dan dia beda department, aku juga sudah duluan dirotasi ke Singapore dan Zidane dirotasi ke Bali beberapa bulan setelahnya.

"Assist doang. Kenapa emangnya?" Aku nggak bisa sepenuhnya memegang interiorscaping karena itu bukan 'wilayah'-ku, aku cuma bisa memberi masukan yang sesuai dengan apa yang aku ketahui sebagai landscape architecttapi, aku juga nggak tau apakah masukanku akan seberpengaruh itu, karena isi 'otak' Mba Hana pasti lebih oke daripada aku.

"Ohh." Zidane mengangguk paham. "Ntar draf lo kasih ke Mba Hana, ya, Rain."

Aku sedikit memiringkan kepalaku, bingung. Ada sedikit jeda sebelum aku memberi respon ke Zidane. "Kan gue belum masuk ke interiorscaping, kenapa tiba-tiba kasih report draf ke Mba Hana?"

"Nggak tau." Zidane mengendikkan pundaknya. "Gue cuma disuruh buat bilang ke lo, kalau lo reportnya ke Mba Hana."

"Siapa yang nyuruh?" tanyaku lagi. Emang sudah sepastinya aku bingung dengan kondisi ini atau emang ini adalah hal biasa?

"Mba Hana," jawab Zidane.

"Kalian di Bali sistemnya emang begini atau gimana?" Entah sampai kapan aku akan berhenti bertanya kepada Zidane, mungkin aku akan berhenti kalau aku sudah mendengar jawaban yang sebenarnya ingin aku dengar.

"Sistem apaan?"

"Ngasih report ke orang yang nggak ada sangkut pautnya sama apa yang gue kerjain," jelasku. Semoga Zidane nggak menangkap emosi yang sedang kutahan. "Kan seharusnya gue nggak report ke Mba Hana."

"Gue juga bingung sih." Zidane menggelengkan kepalanya cepat. "Gue selalu direct kasih report ke Mas Sagara kok."

Aku langsung terdiam. Ah... sepertinya aku sudah bisa membayangkan bagaimana kehidupanku selama 6 bulan ke depan di sini. It should be a good thing. It should be. Aku cuma bisa berharap kalau waktu akan berjalan sangat cepat, saking cepatnya sehingga aku bisa lupa semua yang pernah terjadi di sini.

Satu-satunya pelarianku saat ini adalah kerjaan, entah sejak kapan aku selalu suka dengan meja kerjaku, rasanya aku bisa sedikit melupakan tentang apa yang nggak seharusnya aku pikirin terlalu dalam. Setelah memutar otak setiap harinya, membuat desain yang sesuai dengan konsep dan juga sesuai dengan apa yang aku bayangkan awalnya, aku meregangkan badanku. Pukul 17.45, jauh lebih cepat dari yang aku kira. Kalau ada proyek, biasanya aku baru bisa meninggalkan kubikelku di atas jam 9 malam. Entahlah, mungkin aku terlalu fokus mengerjakan, sampai akhirnya aku bisa mengerjakannya secepat ini — atau aku memang ingin cepat pulang.

Aku terkejut ketika merasa ada yang menyentuh pundakku dari belakang, Mba Hana. "Sudah selesai, Rain?"

"Masih rough draft, Mba," jawabku. Mba Hana hanya mengangguk sambil memajukan badannya untuk melihat komputerku lebih dekat. "Aku kira Mba Hana sudah pulang, tadinya mau ngasih besok pagi."

how far can we go?Where stories live. Discover now