X. What do you wish you'd known about love?

672 44 1
                                    

Raina Kirana Namari

"Looks like someone finally reconciled, I guess?" sindir Alya ketika aku, Andira, Zidane, dan Alya sudah kembali ke kubikel masing-masing setelah weekly meeting — much more like a briefing, karena besok harus presentasi di depan client. "Meeting kali ini gak mencekam kayak minggu lalu."

"Gue juga merasa gitu, padahal gue udah takut deadline mepet begini," sahut Andira tiba-tiba, diikuti dengan senyum jahilnya karena dia sudah aku ceritakan tentang Sagara.

Aku cuma tersenyum simpul ketika mendengar Andira, Alya dan Zidane kembali menebak-nebak apa yang terjadi di antara aku dan Sagara — lebih tepatnya cuma Alya dan Zidane. "Eh, Mas Haikal di mana ya? Gue belum ngasih revisian gue," potongku di sela-sela obrolan mereka.

"Mas Haikal cuti, Rain," jawab Andira.

"Demi apa?" tanya gue sedikit kaget, karena gue nggak begitu memperhatikan semua orang selama meeting.

"Yang diperhatiin Sagara mulu sih, makanya nggak fokus siapa yang hari ini nggak masuk," sindir Zidane —mungkin lebih cocok disebut dengan mengejek.

"Apaan," sinis gue ke arah Zidane. "Sagara belum keluar dari ruangan Pak Radit, ya?" tanya gue lagi memastikan kalau Sagara sudah ada di ruangannya atau belum.

"Sabar kali, Rain. Nggak sabaran banget mau ketemu si Mas." Kali ini Alya yang ikut-ikutan menimpali. Kalau bukan karena lagi di studio dan banyak CCTV yang mengamati pergerakanku, mungkin sudah aku cubit nih Alya sama Zidane.

"Gue mau ngasih report, Sayang," ucap gue ke Alya pasrah. "Harusnya ke Mas Haikal dulu sih."

"Ohh, kirain mau pacaran." tanpa perlu menoleh, aku sudah tau kalau ini suara Zidane.

Aku cuma terkekeh pelan dan berusaha untuk mengabaikan ejekan lain dari Alya dan Zidane. Mataku terus-terusan memandangi ruangan Pak Radit, melihat apakah masih ada Sagara di dalamnya atau Sagara sudah kembali ke ruangannya. Setelah menunggu kurang lebih sepuluh menit, akhirnya gue memutuskan untuk ke ruangan Sagara tanpa menunggu Sagara selesai.

What do you wish you'd known about love? That I needn't worry about not being good enough. And that love is about finding a home. A place where we feel seen, and where we can see. — Philippa Perry, Conversation on Love by Natasha Lunn.

That I needn't worry about not being good enough. Aku cukup tertampar dengan satu kalimat itu, it supposed to be like that, I guess? Apa yang terjadi setelah Sagara menceritakan semua hal yang ia pikirkan dua hari yang lalu? Nggak banyak yang kami berdua bahas, tapi aku sedikit bingung dengan sikap Sagara maupun sikapku yang kembali seperti biasnya, seperti nggak ada yang aneh dari hubungan ini. Entahlah, mungkin memang sudah seharusnya seperti itu.

Aku meletakkan kembali handphoneku setelah membalas pesan dari Sagara yang nggak akan kembali ke studio sampai jam pulang. Semakin dekat dengan deadline, semakin sibuk juga Sagara — ya... wajar, karena aku juga tau bagaimana sibuknya menjadi dia.

"Rain," panggil Andira. Aku menoleh ke arah Andira, menunggu ia melanjutkan apa yang ingin dibicarakan. "Lunchsama Sagara?"

Dengan cepat aku menggelengkan kepala. "Nope, dia ada lunch sama pihak Belmond."

"Kasian banget, baikannya deket-deket deadline," sahut Namira yang tiba-tiba ada di belakangku, entah dari siapa dia mendengar gosip-gosip 'baikan' itu. "Waktu berduanya kepotong meeting sama client."

Ya, mungkin karena Sagara yang kembali sibuk, bahkan lebih sibuk dari sebelumnya, membuatku nggak begitu merasakan perubahan yang signifikan dalam hubungan ini. Hmm, perasaan aku yang minta untuk menjalani hubungan dengan perlahan, kenapa seketika aku meminta perubahan yang instan?

how far can we go?Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora