XII. Everything has a small beginning.

879 39 0
                                    

Sagara Bhiru Vishaka

Raina yang sedang tertidur pulas di lengan gue adalah pemandangan yang pertama kali gue tangkap ketika gue bangun tidur. Tangan kiri gue terulur untuk merapikan rambut yang menutupi wajah Raina sepenuhnya — menyelipkan di belakang telinga. Sudah lebih dari empat bulan semenjak Raina memindahkan semua pekerjaannya yang ada di Singapore ke Jakarta, kadang gue masih nggak terlalu percaya sama banyaknya perubahan yang terjadi di hidup gue beberapa tahun ke belakang ini. Semenjak Raina datang lagi untuk yang kedua kalinya, gue nggak menyangka akan menginginkan banyak hal yang sebelumnya nggak pernah gue bayangkan — termasuk mengharapkan yang lebih dalam berhubungan.

We talked about so many things we'll do in the future. Rasanya menyenangkan, ketika gue memiliki masa depan yang bisa gue bilang pasti bersama Raina. We've had too many ups and down, berkali-kali gue nggak memiliki pendapat yang sama dengan Raina, tapi berkali-kali juga gue mengalah untuk memilih jalan tengah di antara kami berdua — but, the weird thing is I'm okay with everything when it only applies to Raina. Jangankan gue, orang-orang yang ada di sekitar juga sedikit bingung dengan gue yang sekarang — nggak banyak yang berubah, tapi... cukup signifikan sampai orang-orang bisa dengan jelas merasakan perubahan itu.

Setelah puas memandangi Raina yang masih enggan untuk membuka mata, gue menarik tangan gue perlahan, berusaha untuk nggak membangunkan Raina. She's such a very very light sleeper karena sekarang Raina sudah membuka mata sepenuhnya — padahal lengan gue belum bergerak sebanyak itu. "Lanjut tidur aja lagi, Ra," ucap gue pelan ketika Raina masih diam menatap gue.

"Sekarang jam berapa, Ga?" tanya Raina dengan suaranya yang parau.

"Masih jam enam, Sayang," jawab gue. Rumah gue seakan-akan punya alarm setiap jam enam kurang, karena gue hampir nggak pernah bangun lebih dari jam enam — ya... kalaupun pernah, itu karena gue yang memaksakan diri untuk melanjutkan tidur gue. "Aku mau keluar dulu," lanjut gue lagi seraya mengangkat sedikit kepala Raina agar gue bisa menarik tangan gue. Raina mengangguk pelan, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. "Sayang," panggil gue lagi pelan setelah mengingat apa yang harus gue tanyakan.

"Hmm?" gumam Raina, masih di dalam selimut.

"Mau nitip sarapan apa?" tanya gue membuat Raina membuka selimut yang menutupi wajahnya, terlihat sedang berpikir keras — padahal gue tau makanan apa yang akan ia titipkan ke gue. "Subway?" tanya gue lagi.

Raina mengerutkan alisnya. "Emangnya kamu lari sejauh itu?"

"Subway yang deket RSPI, tapi aku pake mobil ke sananya, Ra," jawab gue, tangan kiri gue mengusap pipi Raina pelan. "Atau mau makanan lain?"

"Kayak biasa ya, Ga," ucap Raina diikuti dengan kekehan yang dibuat-buat. Honey oat bread, six inch, Italian B.M.T additional egg mayo one scoop, without onion, with honey mustard sauce — gue sudah hapal di luar kepala tentang menu yang selalu Raina pesan, kalaupun ada yang mau dia makan selain menu itu... makanan itu akan selalu berakhir di tubuh gue.

"Coffee?" tanya gue lagi. "Mumpung Subway sebelahan sama Starbucks."

Raina menggelengkan kepalanya. "Aku minta punya kamu aja ntar."

Gue mengernyit. "Aku nggak akan pesan latte-lattean itu loh, Ra," tegas gue mengingat Raina nggak akan pernah mau mengesap cold brew atau americano yang selalu gue pesan. "Mau dolce latte atau hazelnut latte?"

"Hazelnut latte," jawab Raina pada akhirnya. "Decaf ya, Sayang."

"Okay," sahut gue seraya mengecup bibir Raina sesaat. Setelah memastikan Raina kembali tertidur dan beberapa barang sudah masuk ke dalam tas kecil yang gue bawa, gue keluar dari rumah untuk jogging.

how far can we go?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang