VII. To tell and be told, isn't that what we need in the midst of everything?

464 55 3
                                    

Sagara Bhiru Vishaka

"Terus gimana, Ga?"

Gue menoleh seraya mengatur napas dan menyeka peluh di dahi gue dengan handuk kecil. "Gimana apanya, Tre?"

"Offeran lo ke pusat," jawab Atre menjelaskan konteks yang ia maksud. Iya, seminggu setelah resepsi Mas Aryan dan Mba Nai, bukannya langsung ke Sydney untuk kembali bekerja, Atre malah memperpanjang cutinya dan pergi ke Bali. Ya... gue tebak sih ada alasan lain kenapa dia mau ke Bali dulu sebelum pulang ke Sydney.

"Antara Q1 atau Q2," jawab gue. "Setelah pembangunan tahap awal, baru gue lepas ke Zidane."

"Widih, Zidane tanda-tanda bentar lagi promosi," ucap Atre dengan intonasi takjub. "Dia masuk Signed di tahun yang sama kayak lo, 'kan?"

Gue terkekeh mengiyakan. "Iya, emang sudah waktunya juga buat punya team sendiri."

Atre manggut-manggut. "Jadinya, lo milih pindah ke Jakarta, 'kan?"

"Mau ke mana lagi emangnya?" tanya gue sambil menoleh ke arah Atre dengan tatapan heran.

"Gue sempat ngira lo mau pindah ke Singapore."

"Ohh." Gue mengangguk pelan dengan mulut yang berbentuk O. "Sempat kepikiran, tapi gue nggak kepikiran buat tinggal long term di sana, makanya gue pilih Jakarta. Mas Aryan juga mau pindah ke Surabaya, 'kan?"

"Iya," jawab Atre diikuti dengan anggukannya. Ada jeda beberapa saat sebelum Atre melayangkan pertanyaan ke gue. "Raina gimana?"

"Gimana apanya?"

Atre memiringkan wajahnya tanda bingung. "Tentang lo ke Jakarta."

"Gue belum ada bilang apa-apa tentang ini," jawab gue santai.

"Sinting," cetus Atre yang membuat gue langsung menoleh lagi ke arah Atre. "Ya, kecuali lo emang nggak serius sih, ya wajar."

Gue mengernyit. "Apaan?"

"Aneh aja kalau sampai sekarang Raina nggak tau apa-apa," papar Atre dengan nada sedikit 'jutek' lalu ia mengendikkan pundak. "Kalau lo beneran serius sama Raina, seharusnya lo nanya dulu ke dia nggak sih?"

"Malah karena gue serius makanya gue siapin dulu nggak, sih?

Terkadang, ideal menurut gue belum tentu ideal menurut orang lain — termasuk dengan hubungan gue, ah... apakah sekarang gue sudah bisa menyebutnya 'hubungan gue' di saat Raina sama sekali belum memberikan jawabannya ke gue. Gue nggak mau memiliki kesan terburu-buru di saat Raina masih memikirkan itu semua, bahkan kalaupun Raina memberikan jawaban yang nggak sesuai dengan apa yang gue mau... God, I hate how my mind will always to the worst case scenario first.

Waktu pertama kali gue mau mengajukan pindah, branch pertama yang gue tanya adalah Singapore — ya, impulsive thoughts. Tapi, entah kenapa gue nggak bisa melihat kehidupan jangka panjang gue di sana. Kalau gue nggak berpikir tentang jangka panjang kehidupan gue — bersama Raina, kalau gue boleh bilang — ya, gue nggak akan mengajukan pindah dari awal. Walaupun gue sekarang nggak pernah tau pendapat tentang Raina, tapi rasanya salah kalau gue tanya sekarang.

Dering sebuah panggilan masuk menyadarkan lamunan gue. Gue menatap layar handphone yang tertera nama salah satu teman gue, Oceano R. Amarthya.

"Halo," sapa gue terlebih dahulu ketika panggilan terhubung.

"Ga, lo ada di chat sama Jere atau Mikha, nggak?" tanya Ose langsung tanpa ada niat untuk membalas sapaan gue terlebih dahulu.

"Ada, tapi gue belum ada liat," jawab gue sambil mengingat-ingat ini pesan yang gue lihat semalam. "Kenapa?"

how far can we go?Место, где живут истории. Откройте их для себя