IX. How do you know when you're in love?

475 48 0
                                    

Sagara Bhiru Vishaka

"Ibu, how do you know when you're in love?" tanya Jemima ketika gue baru saja sampai di ruang tengah. Gue duduk di samping kiri Ibu, sedangkan Jemima duduk di sebelah kanan Ibu.

"Hmm," Ibu bergumam, terlihat sedang berpikir jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Jemima. Gue diam menyimak. "Ibu had never felt something so significant, tapi, Ibu tiba-tiba bergantung sama Ayah dan nggak mau Ayah pergi. I realized that he gave me a sense of completeness and feelings that I never knew I desired."

"Emangnya Ayah dulu ada berniat untuk pergi?" tanya Mima ke Ayah yang sedang sibuk menyetem gitar yang dari tadi Ayah pegang. "Parah banget sih, Yah, kalau sampe beneran ada niat begitu."

Ayah dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Nggak. Waktu itu kenapa ya, Nay?" Ayah mengerutkan alisnya bingung dan menghadap ke arah Ibu.

"Ih! masa lupa?" tanya Ibu balik diikuti dengan tatapan sinisnya ke arah Ayah. Gue dan Jemima terkekeh melihat keributan kecil yang selalu terjadi di antara Ayah dan Ibu. Terkadang gue nggak melihat sisi dewasa dari Ayah dan Ibu di saat-saat seperti ini, jauh berbeda dengan apa yang mereka berdua perlihatkan ke orang-orang di luar rumah.

Ayah terkekeh ketika melihat wajah kesal Ibu. "Dulu, kalau emang Ibu nggak mau sama Ayah, ya... Ayah pergi. Tapi, waktu itu Ibu ngasih jawaban yang emang mau Ayah dengar," jawab Ayah.

Gue yang awalnya fokus dengan tayangan yang ada di TV langsung menoleh ke arah Ayah. "Jawaban apa, Yah?" tanya gue penuh dengan rasa penasaran. Gue nggak pernah bosan mendengar cerita tentang Ayah dan Ibu, terasa hangat, padahal gue dan Jemima cuma mendengar cerita itu keluar dari mulut Ayah dan Ibu tanpa melihat apa yang dulu pernah terjadi.

"Jawaban kalau Ibu mau Ayah nunggu lebih lama lagi," jawab Ayah pasti.

Beberapa obrolan dengan Ayah, Ibu dan Jemima tiba-tiba terputar di kepala gue, seperti sedang mencari jawaban dari apa yang sudah pernah gue dengar. I don't want to feel rushed, tapi waktu terus berjalan membuat gue seakan-akan harus berlari tanpa istirahat sedetikpun — seakan-akan kalau gue berhenti untuk beristirahat, tujuan gue akan hilang dalam sekejap. Bahkan, dengan gue yang terus berlari pun nggak akan menjamin kalau tujuan gue akan diam di tempat sampai akhirnya bisa gue gapai sepenuhnya.

"Jangan ngomong sama aku, kecuali kamu sudah merasa cukup waktu untuk memutuskan semuanya," ucap Raina setelah terdiam beberapa saat.

Ra, andai kamu nggak akan ke mana-mana, mungkin aku masih belum bisa berdiri di depan kamu detik ini. Jujur, gue bahkan nggak tau apa yang harus gue bicarakan detik ini, rasanya terlalu impulsif. Gue bahkan nggak tau apa yang akan terjadi setelah gue mengeluarkan beberapa kalimat yang nggak ada gue pikirkan sebelumnya. Ya Tuhan, kenapa gue masih butuh banyak waktu untuk ini? Apa lagi yang sebenarnya harus gue pikirkan?

"Raina," panggil gue pelan setelah menghela napas pelan. Raina nggak berkutik sama sekali, ia hanya diam menatap gue. "We need to talk, right now," tekan gue pada akhirnya.

Tepat sebelum gue mengeluarkan suara untuk menjelaskan banyak hal, Raina sudah lebih dulu membuka bibirnya untuk berbicara. "Later, Ga," ucapnya setelah melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Papi sudah ada di depan."

Gue mengernyit, fokus gue tiba-tiba buyar. "Papi kamu lagi di Bali?"

"Iya," jawab Raina sambil mengangguk pelan. "Sebenarnya Papi masih bisa nunggu, tapi, aku nggak bisa menebak sedikitpun apa yang mau kamu omongin sekarang, Ga," lanjutnya terus terang.

"Ra, aku boleh antar kamu ke depan?" tanya gue sedikit ragu setelah terdiam beberapa saat.

"Boleh," jawab Raina langsung, tanpa ada jeda waktu untuk berpikir terlebih dahulu. "Dari kemarin Papi nanyain kamu terus."

how far can we go?Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt