III. Should we go back to the place we didn't know each other?

494 59 3
                                    

Sagara Bhiru Vishaka

Ketika jam sudah menunjukkan pukul 12.30, gue meregangkan dan menegakkan tubuh gue. Sudah 30 menit sejak jam break, gue membuka komputer untuk melihat CCTV dengan maksud mencari Hana apakah dia masih ada di dalam ruangannya atau sudah keluar, tapi, mata gue langsung mengarah ke satu kubikel yang masih berpenghuni. Karena jam break yang cukup panjang, gue jarang melihat orang yang akan stay di studio untuk makan siang — entah mereka makan di luar atau kembali ke rumah, nggak tau juga, gue nggak sepenasaran itu. Tiba-tiba handphone gue berbunyi mengalihkan pandangan gue dari komputer ke handphone, balasan pesan dari Hana.

Gue mengurungkan niat untuk pergi ke luar. Kalau gue nggak melihat Raina masih duduk di kubikelnya, mungkin sekarang gue sudah menyusul Hana dan Abby — gue juga sebenarnya terlalu malas untuk ke luar, terlebih karena efek alkohol yang masih terasa.

Mungkin ada sekitar 15 menit gue berdiam diri tanpa melakukan apapun, gue melihat CCTV lagi, Raina sudah nggak ada di kubikelnya. Setelah memastikan dia benar-benar nggak ada di studio lagi, gue keluar dari ruangan gue, berniat untuk ke pantry mengambil minum yang ada di kulkas.

Langkah gue terhenti di depan pintu staff lounge yang terbuka setengah. Gue berniat untuk menutup rapat pintu, tapi mata gue melihat Raina yang sedang tertidur. Raina tertidur di bean bag dengan bantal kecil yang menutupi wajahnya dari sinar matahari yang masuk dari jendela. Ah... staff lounge emang nggak ada kamera CCTV, makanya gue kira Raina sudah ke luar. Gue melangkah masuk ke dalam pelan-pelan, seberusaha mungkin untuk nggak mengeluarkan suara untuk menutup gorden dan mematikan lampu. Setelah memastikan nggak ada cahaya yang mengganggu tidur Raina, gue menutup pintu ruangan itu pelan-pelan dan kembali menuju pantry sesuai dengan niat gue awalnya.

"Ga!" seru Hana ketika melihat gue memasuki restoran yang tadi ia maksud. "Gue kira lo lagi merenungkan diri, makanya tadi nggak mau join."

Abby menengadahkan kepalanya, mengarah ke gue. "Lo habis ngapain, Ga? Tiba-tiba mau merenungkan diri."

"Nggak, itu Hana ngasal doang." Gue menggelengkan kepala. "Tiba-tiba udah di Bali aja, By," gue langsung mengalihkan topik.

"Baby," timpal Hana asal. "Gue cemburu sih, Ga, lo manggil orang lain pake 'Baby' begitu."

"Hahaha. Masa gue harus ganti nama, Han?" Abby tertawa canggung, kayaknya ini ketawanya cuma buat formalitas aja sih. "Ga, pesen gih, my treat," ucap Abby ke gue.

"Ohh, kayaknya ada yang habis nyentuh target tengah tahun," sindir gue spontan. Dulu Abby satu SMA sama gue dan Hana, dibilang deket banget juga nggak, tapi nggak yang secanggung itu juga.

"Iya. Makanya tiba-tiba udah ada di Bali aja, padahal ini masih tengah bulan dan hari selasa," sahut Hana menambahkan.

Setelah melihat buku menu dan berniat untuk memesan makanan, gue mengangkat tangan untuk memanggil waitress. "Satu grilled salmon, dine in. Sama satu wagyu roast beef sandwich, whole-wheat, dan kalau pake mayo, tolong jangan pake mayo, ya, Mba. Sandwichnya di take away."

Waitress memastikan kembali pesanan gue. "Ah, yang sandwich pisah bill aja ya, Mba, bayarnya pisah sama yang grilled salmon," lanjut gue.

"Kenapa pisah, Ga?" tanya Abby ketika waitress beranjak dari meja kami bertiga. "Gabungin aja kali."

"Lain kali, By," jawab gue cepat. "Biar lo bayarin gue lagi nanti."

"Bukan buat dia, By," celetuk Hana. "Makanya nggak mau orang lain yang bayarin. Ya, 'kan, Ga?"

Duh, ini kalau bukan lagi di tempat umum, kepalanya sudah gue toyor kali, sembarangan banget mulutnya. "Hana," gue cuma bisa memanggil Hana dengan sinis.

how far can we go?Where stories live. Discover now