part 14

748 94 6
                                    

Kiara mengunci kamarnya, dia menjatuhkan dirinya di atas dinginnya lantai. Wajahnya dia tenggelamkan di antara lututnya.

Suara isak tangis terdengar setelahnya. Diluar sana, suara gedoran pintu terdengar bersahutan dengan suara Papanya yang meminta pada Kiara untuk membukakan pintu.

"Kiara, dengerin Papa. Ini demi kebaikan kamu sendiri nak."

"Kebaikan apa yang Papa maksud? Papa jelas tau kalau aku belum mau menikah dalam waktu dekat, kesepakatan awal kita gak gini, Pa." Kiara meraung-raung, dia menjambak rambutnya kencang sebagai pelampiasan, tidak peduli dengan rasa perih yang diakibatkan oleh ulahnya.

"Maafin Papa Kiara. Papa yakin Dirga itu laki-laki yang tepat untuk kamu."

Kiara menggeleng-geleng, tidak setuju dengan pendapat Papanya. Kiara tidak berminat untuk adu argumen dengan Papanya, dia tau dengan jelas watak Papanya bagaimana. Sekeras apapun Kiara memberontak, jika papanya sudah mengambil keputusan maka akan terjadi sesuai yang diinginkan.

Kiara merutuki jalan hidupnya yang berantakan. Kiara berdiri, membanting apa saja yang bisa diraihnya. Dia muak dengan semua kekacauan ini.

Kiara menghempaskan dirinya ke atas ranjang yang terlihat sangat berantakan. Air mata kini telah kering, hingga tidak ada lagi yang bisa keluar dan hanya menyisakan sesenggukan menyedihkan saat terdengar oleh telinga.

Setalah kejadian itu, Kiara sama sekali tidak keluar dari kamarnya hingga keesokan harinya. Dia melirik pada jarum jam yang telah menunjukkan pukul sepuluh barulah Kiara memberanikan diri untuk keluar.

Tidak peduli dengan penampilannya yang bisa dibilang mengerikan, kantung mata menghitam, rambut acak-acakan belum lagi wajahnya yang terlihat menyedihkan. Sungguh perpaduan yang sempurna untuk melengkapi kesedihan Kiara.

Baru saja Kiara melangkahkan kakinya menuju dapur, dia dipertemukan dengan bibi yang saat ini menawarkan sarapan padanya.

Kiara menggeleng, dia sedang tidak berselera untuk makan apapun saat ini. Yang dia butuhkan hanyalah segelas air untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

"Mbak mau saya buatkan sesuatu mungkin?" Kiara tetap menggeleng, setelah meneguk segelas air dia berbalik badan hendak kembali pada kamarnya.

Tapi saat di perbatasan yang menghubungkan ruang tengah dengan halaman samping rumah, dia bisa melihat Papanya yang tengah menatap ke arahnya.

Rupanya Papa Kiara tidak pergi bekerja hari ini. Kiara mengabaikan, dia melangkah dengan cepat supaya bisa kembali ke tempat ternyamannya.

"Kiara, Tante Rena tadi telepon Papa, dia minta kamu untuk datang kerumahnya."

Kiara melengos, rupanya dia tidak diberikan waktu untuk sekedar menenangkan pikirannya yang kacau balau.

"Bilang aja aku sibuk, gak sempat." Kiara melepaskan tangan Papanya yang mencekal lengannya.

"Sebentar aja, kamu gak kasihan emang sama Tante Rena? Dia udah dari lama nyariin gaun yang cocok buat kamu."

Oh jadi rupanya rencana ini sudah mereka susun jauh-jauh hari. Bagus sungguh bagus, rupanya pendapat Kiara memang tidak berarti apa-apa disini.

Hidup Kiara tak ubahnya seperti sebuah robot, yang telah di atur untuk menuruti semua kemauan pemiliknya.

"Kenapa aku harus kasihan? Kalian aja gak ada yang kasihan sama aku, gak ada yang yang tanya perasaan aku gimana." Sial, Kiara kembali menangis dan dia benci dengan itu. Dia terlihat sangat lemah.

"Kalau Papa gak kasihan sama kamu, mungkin Papa akan biarin aja kamu sama laki-laki brengsek itu dan tertipu olehnya."

"Laki-laki brengsek mana yang Papa maksud? Rehan?"

Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang