TTM 04 - DRAMA BAN BOCOR

106 55 19
                                    

Setelah aksi Gilang di kantin tadi, namanya menjadi buah bibir di penjuru sekolah. Aksinya itu disebut-sebut seperti adegan romantis dalam anime yang bisa membuat para murid perempuan mimisan dan pingsan seketika.

Teman-teman sekelas pun mengawasi gerak-gerik Gilang dan Alvia. Tangan mereka sibuk bergerak memasuki buku dan alat-alat lain yang tadi digunakan, tetapi mata mereka tak lepas memperhatikan pergerakan keduanya.

Sebenarnya, saat di kantin tadi, Gilang ingin balas mengerjai Alvia. Namun, entah kenapa tubuhnya seolah memiliki kontrol sendiri dan tiba-tiba saja ia sudah mendapati dirinya berada di kedai Mpok Ida yang berada di bagian belakang sekolah. Kantin kecil yang biasanya dijadikan tongkrongan oleh para berandalan sekolah.

“Lang, lo tau nggak kalau lo jadi bahan omongan satu sekolah setelah aksi lo di kantin tadi?” Derrel berujar sambil mengubah posisi duduknya menyamping.

“Gue, kan emang tiap hari jadi bahan omongan,” papar Gilang terlalu percaya diri.

“Woi, Via!” seru Fatah.

Alvia menoleh pada Fatah, sementara seluruh penghuni kelas memusatkan atensi padanya, siap-siap memasang telinga dan mata mereka dengan baik.

“Apa!” balas Via dengan lantang.

“Dapet salam rindu dari abang Gilang,” kelakarnya disusul dengan tawa renyah. Entah dengan maksud apa Fatah mengatakan hal seperti itu.

“Bilangin, kalau salam rindunya nggak bakal diterima kalau nggak mau ngomong sendiri sama bawa jajanan banyak.” Alvia membalas dengan candaan serupa, tak membawa serius ucapan tersebut, kemudian tertawa hingga matanya melengkung membentuk bulan sabit.

Diikuti teman-teman yang lain tertawa, terutama Fatah yang paling heboh setelah mendengar balasan Alvia, kecuali Gilang yang dengan intens menatap Alvia. Merekam sosok gadis itu baik-baik dengan penglihatannya, menyimpannya di dalam memori otaknya.

“Gue duluan, ya, guys.” Alvia berpamitan kepada keempat temannya yang segera ditahan.

“Tunggu dulu, dong.” Liana menahan lengan Alvia agar keluar bersama sembari membereskan peralatan alat tulis yang tadi dia gunakan.

“Far! Besok kita lanjutin lagi diskusi tadi, ya. Ke potong jam pulang soalnya.” Alvia menghampiri Farah—teman kelas sekaligus partner saat mengikuti lomba ataupun cerdas cermat dulu—mengingatkan tentang diskusi pelajaran sejarah yang tadi terpotong oleh bel pulang.

Farah mengangguk. “Kalau mau dilanjut di chat juga boleh,” ujarnya setengah bercanda.

Alvia tergelak dan mengangguk. “Boleh-boleh sekalian pakai zoom gitu, ya.”

“Vi ...! Ayo, pulang!” Liana mengajak Alvia untuk pulang bersama setelah semua selesai.

Alvia mengangguk dan berpamitan pada Farah jika dia akan pulang terlebih dahulu yang langsung diiyakan oleh Farah. Samar-samar saat berjalan menghampiri teman-teman, Alvia mendengar Farah mengobrol dengan Gilang.

“Jangan lupa besok ajarin gue yang kemarin, ya, belum selesai itu.” Selanjutnya, Alvia tak mendengar lebih jelas lagi mereka mengobrol apa saja karena jarak mereka sudah terlampau jauh.

***


Di jalan menuju tempat parkir, ia sempat merenung, memikirkan sejak kapan Farah dan Gilang dekat? Dekat dalam artian mengobrol satu sama lain seperti tadi. Dan sejak kapan pula Gilang mau repot-repot mengajari atau menjelaskan suatu pelajaran kepada temannya yang lain?

Entah benar adanya Gilang mengajari suatu pelajaran atau hal yang lain. Mendadak langkahnya terhenti, kedua alisnya hampir menyatu. Tersadar akan baru saja apa yang dia pikirkan.

“Ngapain juga gue mikirin sampai segitunya?” gumamnya terheran.

“Via! Ayo! Malah bengong di sana!” panggil Laras yang tak melihat Alvia berada di antara mereka.

Alvia segera menyusul dan berbelok di ujung koridor untuk menuju parkiran yang berada di halaman belakang sekolah, tak jauh dari gedung kelasnya. Sesampainya di tempat parkir, mereka berpisah begitu saja menuju ke kendaraan masing-masing.

Alvia berjalan menuju salah satu motor matic hitam bercorak merah yang biasa ia pakai pergi-pulang sekolah. Saat dia mulai lebih dekat dengan benda bermesin tersebut, dia seperti melihat ada yang tidak beres.

Ia pun dengan cepat mendekat dan benar saja, ban belakang motornya kempis. Entah bocor atau sekedar kurang angin, Alvia tidak tahu. Seingatnya, keadaan motornya aman-aman saja saat ia berangkat sekolah pagi tadi, tidak ada masalah apa pun.

Ia menggaruk belakang telinganya yang tak gatal, merasa bingung sendiri. “Hadeehh ... apes banget, sih, hari ini!” keluhnya.

Alvia menatap nanar motornya. Terpaksa ia harus menuntunnya menuju bengkel terdekat. Sambil berkacak pinggang, ia mengingat-ingat di mana letak bengkel paling dekat dari sekolah menuju rumahnya.

Helaan napas kasar Alvia hembuskan. Ia mengubah letak posisi ransel menuju ke depan—takut ada orang usil—bersiap-siap menuntun motornya mencari bengkel.

Baru saja dia membenarkan jagang motornya, suara Gilang terdengar dari belakang.

“Motor lo kenapa?”

Alvia menoleh ke belakang dan sudah mendapati Gilang yang berdiri tidak jauh darinya.

Alvia menjagang kembali motornya. Raut wajahnya sungguh tak mengenakkan. Gilang dalam hati meringis melihat ekspresi gadis itu.

“Sepeda lo kenapa?” tanya Gilang kembali.

Alvia hanya diam, tampak tidak berniat menjawab pertanyaannya.

Laki-laki itu menunduk, menunggu jawaban Alvia malah dia keburu kehabisan kesabaran. Dia melihat dengan teliti seluruh bagian sepeda Alvia dan menemukan ban belakang motor gadis itu yang terlihat kempis.

“Ban motor lo kempis.”

Gilang kembali berdiri tegak dan mengambil alih sepeda motor Alvia, lalu menjagang tengah sepeda motor tersebut. Dia berjongkok tepat di depan ban belakang lalu memutar ban tersebut, mengecek penyebab ban itu kempis.

Alvia yang mengawasi dari samping menatap Gilang tanpa berkomentar apa pun.

“Ban dalemnya kayaknya yang bermasalah. Coba lo ke bengkel aja.” Ungkap Gilang mendongak menatap Alvia.

“Bengkel deket sini di mana?”

“Nggak tau. Cari sendiri.” Gilang meninggalkan cewek di sana menuju sepeda motornya dan benar-benar pergi.

Alvia tak habis pikir. Dua kali dia sudah dibuat melongo dengan tingkah laki-laki itu. Rasa kesalnya membumbung tinggi. “Awas lu, ya, Gilang!” pekiknya.

Tetangga Tapi Mesra [TERBIT]Where stories live. Discover now