TTM 37 - JARAK

22 4 4
                                    

Sudah empat hari berlalu semenjak pertengkaran Gilang dan Alvia hari itu, hubungan mereka terlihat merenggang. Entah di sekolah maupun di rumah, keduanya memberi jarak satu sama lain, walaupun di rumah mereka tidak terlalu menunjukkan sikap tersebut.

Gilang sendiri semenjak hari itu sangat kesusahan untuk sekadar berbicara berdua dengan Alvia. Ia mengirim berbagai pesan, menelepon Alvia yang tak kunjung di angkat yang ternyata keesokannya nomornya diblokir oleh Alvia. Gilang selama empat hari itu uring-uringan, melampiaskan semua amarahnya yang terpendam kepada teman-temannya, begitu pun dengan orang rumah yang ikut terkena imbas dari amukan Gilang.

Tak jauh berbeda seperti Gilang, Alvia pun sama seperti laki-laki itu. Ia menjadi sedikit lebih sensitif dan pendiam. Leni kebingungan dengan sikap putrinya. Terlebih lagi, saat dia melihat Alvia baru saja pulang. Raut wajahnya terlihat lesu, tidak bersemangat, tidak seperti biasanya bagi Leni.

Pada akhirnya, Leni menghampiri bertanya ada apa kepada Alvia. Gadis itu hanya diam, menatap sang ibu lalu menangis hebat nan sesak sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Leni terkejut, ia lantas memeluk Alvia, mengelus punggung gadis itu yang membuat tangisan Alvia semakin terisak.

Leni menunggu Alvia hingga tenang di sofa ruang keluarga. Ia mengerutkan kening, pikirnya setelah Alvia tenang dan sudah bisa menguasai dirinya ia akan bertanya pada ibunya Gilang. Barang kali, anak laki-laki itu mengetahui penyebab kenapa anaknya saat pulang sampai di rumah tiba-tiba menangis hebat.

Saat itu, ibunya Gilang yang mendapatkan pertanyaan dari ibunya Alvia segera menanyakan perihal tersebut pada Gilang. Ratna menanyakan betul-betul pada Gilang karena menyangkut dengan putri tetangga mereka.

Gilang menggeleng saja, ia menjawab tidak tahu pada Ratna, padahal dia sendiri penyebab Alvia seperti itu. Hanya saja, dia tak mau memberitahu terlebih dahulu karena menyangkut dengan hubungan mereka berdua, walaupun itu juga terlihat salah karena orang tua mereka yang harus lebih tahu tentang masalah anak-anaknya. Namun, Gilang akan tetap bungkam sampai Alvia mengizinkan jika dia boleh membuka suara kepada kedua orang tua mereka.

Gilang menghela napas keras, ia melihat pada pesan-pesan lama sebelum mereka bertengkar. Ia menjadi rindu dengan Alvia. Perasaan ingin bertemu dengan gadis itu menggebu-gebu, tetapi jika dia memaksa Alvia untuk bertemu maka itu malah menambah daftar kebencian Alvia padanya.

Selama empat hari itu pula, sekolah mengadakan ujian tambahan untuk penambahan nilai akhir mereka. Proses belajar Alvia menjadi terganggu karena dia selalu kepikiran dengan Gilang. Alvia sendiri ingin sekali bertanya dengan Gilang, ia ingin mendengarkan langsung dari Gilang. Namun, dia sendiri juga terlalu takut untuk mengetahui hal yang sebenarnya.

Alvia menghela napas, ia menyandarkan tubuh pada punggung kursi. Kedua matanya terasa panas ketika ia mengingat Gilang. Alvia mulai menghembuskan napas perlahan, ia tak mau menangis setiap hari. Dia mulai kembali fokus pada buku-buku yang ada di depan. Ketika ingin melanjutkan mengisi latihan soal, fokusnya teralihkan pada lembaran kertas yang berisi nilai ujian sebelumnya yang menurun.

Menurun menurut Alvia itu masih dalam batas aman pada umumnya, tetapi dengan nilai-nilai Alvia yang sebelumnya selalu sempurna dan stabil, itu sangat berpengaruh bagi penilaian dan dirinya.

Bunyi notifikasi dari ponselnya membuat Alvia segera mengambil dan melihat notifikasi apa yang membuat ponselnya berbunyi.

Fatah
Vi! Nih gue bukan mau ikut campur, ye tapi, nih, si Gilang makin tantrum banget ke temennya. Lo nggak ada mau ngomong sama Gilang?

Alvia mengerjapkan mata dan mendongak. Air mata yang sedari tadi dia tahan akhirnya luruh juga. Ia merasa kalah dengan dirinya sendiri jika berhubungan dengan Gilang. Gadis itu kembali terisak, ia menunduk, menyembunyikan wajahnya pada lengan tangan.

***

Sampai saat ini tidak ada yang mengetahui tentang perihal siapa pelaku dibalik pertengkaran Gilang dan Alvia. Farah sebenarnya belum puas akan hal itu, tetapi saat dia mendengar kabar jika nilai Alvia turun itu membuat dia antusias dan senang luar biasa.

Namun, kesenangannya tak bertahan lama, Ansel yang mendengar putrinya sedang melaksanakan ujian tambahan, dia semakin ketat pada Farah. Ansel mulai menjadwal semua kegiatan Farah dan menambah jam belajar gadis itu supaya nilai ujiannya mendapatkan nilai sempurna.

Farah selama beberapa hari itu, ia merasa tertekan harus berhadap dengan tulisan dan buku. Kegiatan itu terus berulang-ulang hingga dia terkadang mual sendiri saat belajar.

"Jangan lupa setelah makan malam, jam belajarmu jangan sampai terlewatkan." Ansel menatap sekilas pada Farah lalu melahap makanan yang dia makan.  Cantika menatap prihatin pada anaknya. Dia sebelumnya telah berkompromi pada Ansel hingga bertengkar hebat untuk tidak terlalu menekan Farah seperti itu. Namun, Ansel membantah keras dan tetap kekeh dengan pemikiran yang dia anggap benar.

"Kalau kamu biarin Farah santai sedikit aja, nanti bakal keterusan buat dia dan bakal jadi males buat belajar! Itu pun untuk kebaikan dia sendiri, seharusnya dia juga harus berusaha maksimal!" Cantika terdiam setelah itu. Ia berusaha berbicara baik-baik dengan suaminya gagal begitu saja.

"Farah! Ingat kata, papa," ucap Ansel ketika dia tak mendapati tanggapan dari Farah.

"Belajarnya aku ganti besok nggak papa, kan?" Farah bertanya meminta untuk istirahat.

Ansel menatap tajam pada Farah, seakan-akan tatapan itu mengatakan penolakan. "Kenapa harus diganti besok?" Ansel mencoba bertanya pada Farah, walaupun nanti dia akan tetap menyuruh anaknya untuk belajar.

"Aku mau istirahat, pa. Besok aku sambung belajarnya." Farah menjawab hal itu dengan mantap dan yakin. Entah apakah dia akan mendapatkan persetujuan atau tidak dari sang ayah.

"Istirahat? Selesaikan makanmu dan kembali belajar!" Suara Ansel terdengar sangat menyeramkan bagi Farah. Baru kali ini dia mendengar suara ayahnya yang terdengar rendah, namun, menusuk di waktu yang sama.

"Aku nggak mau belajar!"

"Farah!" bentak Ansel hingga suaranya memekakkan telinga.

Farah tercengang mendengar sang ayah membentaknya hanya karena dia menolak belajar untuk sekadar istirahat. Cantika pun bangkit memasang tameng di depan Ansel, berjaga-jaga jika tiba-tiba Ansel melakukan sesuatu pada Farah.

"Ansel, cukup! Biarin Farah istirahat aja hari ini. Mungkin dia capek." Cantika berujar dengan lembut. Namun, sekali apa yang menurut Ansel tidak sesuai maka itu tidak diperbolehkan.

"Makan malam ini, juga termasuk istirahat. Jangan manjain anakmu kayak gitu!"

"Aku nggak manjain anakku, Ansel! Dia capek butuh istirahat apa nggak boleh!"

Farah menangis melihat kedua orang tuanya bertengkar hanya karena dirinya. Apa dengan mendapatkan nilai sempurna terlebih dahulu ayahnya baru memperhatikan dirinya.

"Udah! Berhenti! Cukup-cukup!" Farah berteriak menggebrak meja makan sembari menangis menatap kedua orang tuanya.

"Udah! Berhenti! Cukup-cukup!" Farah berteriak menggebrak meja makan sembari menangis menatap kedua orang tuanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Iyaaa seperti biasa kasih komentar untuk chapter ini. ✨

Tetangga Tapi Mesra [TERBIT]Where stories live. Discover now