13

574 62 12
                                    

Acara itu berjalan dengan situasi yang cukup rumit, setelah ibu suri meminum cawan berisi air suci dan berkat itu, Vaniza dan kedua pangeran ikut meminum air di cangkir mereka masing-masing yang sudah dipersiapkan.

Setelah minum dengan sekali tegukan, Vaniza melihat sosok sang Dewi Kematian, Morrigan. Morrigan tersenyum menatap Vaniza menandakan bahwa sang Dewi Kematian akan segera melaksanakan tugasnya. Perempuan bersurai merah muda itu tersenyum, tubuhnya gemetar menahan kesenangan yang membuncah, sebentar lagi ia akan bebas. Vaniza sangat yakin akan hal itu. 

Dansa di mulai, dan para bangsawan mulai berdansa. Para nona bangsawan mencuri-curi pandang ke arah kedua pangeran, namun para pangeran yang menyadari itu mengabaikannya. Terkhususnya Viclus yang memperhatikan Vaniza, pemuda bersurai gelap itu menyadari ada yang aneh dari gerak-gerik Vaniza, ia segera menghampiri ibu'angkat'nya itu. 

"Apa ibunda baik-baik saja?" Vaniza menoleh menatap Viclus yang berjalan menghampirinya.

"Aku baik-baik saja, Luvie." Viclus memandang Vaniza dengan tatapan khawatir.

Tiba-tiba pelayan datang dan membisikkan sesuatu kepada ibu suri hingga membuat wanita paruh baya itu tidak bisa mengendalikan raut wajahnya.

"Ada apa ibu suri? Apakah ada sesuatu yang terjadi?" Vaniza bertanya dengan ekspresi bingungnya.

"Putraku, dia sepertinya menemui karma menjelang ajalnya." Ujar ibu suri dengan raut pasrahnya.

"Ini semua salahku yang terlalu memanjakannya hingga ia tumbuh seperti itu, ini semua salahku dan Raors yang terlalu fokus pada urusan istana hingga melupakan peran kami sebagai orangtua." Ibu suri menghela napas lelah, Vaniza menuntun ibu suri untuk pergi dari ruangan itu.

Terbesit rasa bersalah dari hati Vaniza untuk ibu suri, namun tak ada yang bisa dilakukan lagi. Kematian kaisar adalah satu-satunya jalan aman bagi Vaniza untuk terlepas dari istana dan tugasnya yang menumpuk, menjadi janda Ratu sudah pasti membuat Vaniza aman, karena setelah salah satu diantara kedua pangeran naik tahta, ia akan keluar dari istana atau pergi ke istana khusus janda Ratu.

Jika tidak menggunakan cara ini, maka satu-satunya cara adalah kudeta atau pemberontakan yang akan dilakukan oleh kedua pangeran, lalu setelah itu bisa saja ada pemberontakan lagi dari fraksi bangsawan yang tidak terima dengan kaisar hasil pemberontakan.

Vaniza tidak ingin itu terjadi, jadi cara inilah yang ia pilih. Ibu suri diantar ke kamar khusus dengan segala pelayanan yang selalu ada di sampingnya setiap saat, kamarnya tidak terlalu jauh dari kamar kaisar, hanya bebeda dua lorong panjang.

Setelah mengantar ibu suri, Vaniza berniat melihat kondisi kaisar. Ia mendekati kamar yang sedikit terbuka itu, ia menatap kaisar yang terbaring di ranjang dengan wajah pucat bak mayat, tubuh kaisar gemetar, ruam biru dengan bercak ungu mulai terlihat dengan jelas. Tidak ada siapapun di ruangan itu, hanya Vaniza, kaisar dan Dewi Kematian yang mengintai.

Kaisar setengah sadar namun ia berhasil membuka matanya, ia melihat Vaniza yang berdiri di menatapnya.

"Oh, kau sudah sadar?" tanya Vaniza dengan muka polosnya. Kaisar berusaha berbicara, namun ia tidak bisa mengeluarkan suara, seolah-olah suaranya menghilang entah ke mana.

"Ssst ... Kau tidak akan bisa berbicara, jadi berhentilah berusaha seperti itu. Karena pada akhirnya usaha mu itu akan sia-sia, tapi bagaimana rasanya suaramu yang biasa kau gunakan untuk berteriak dan memaki kini tak bisa kau gunakan? Menyebalkan? Tentu saja, begitu juga orang-orang yang mendengar umpatanmu itu. Nikmatilah rasa sakit menjelang ajalmu, tidak ada siapapun yang bisa menolongmu, bahkan para Dewa dan Dewi sekalipun." Vaniza tersenyum miring, mata ruby Vaniza bersinar terang seolah ingin mencabik-cabik mangsanya.

Aku adalah Ibu dari Kekaisaran ini [Becoming Imperial Mother]Where stories live. Discover now