Sang Pemilik Hotel

66.1K 4.9K 198
                                    

Tiga tahun yang lalu...

Shit! Semua ini terjadi karena harus aku mendengarkan ocehan manager hotel tempat aku akan menjalani magang. Dia ngomongin materi customer relationship melebihi waktu yang disediakan. Padahal dua pertiga dari bacotannya cuman nemplok di kupingku, kemudian keluar lagi tak bersisa. Aku sampai mikir kalo dia itu alien, bahasanya susah dimengerti. Tapi, bisa jadi karena pikiranku sudah gak fokus ke situ lagi, tapi fokusnya ke tiket pesawat di dompetku. Rencananya, aku mau mudik dulu sebelum memulai perjuangan magang di salah satu hotel mitra kampusku.

Aku berlari di sepanjang koridor Bandara Soekarno-Hatta. Mencoba merapal mantra agar pesawat dari Jakarta menuju tanah kelahiranku—Palembang—masih belum berangkat. Terserahlah mau mogok kek, mau abis avtur kek, pokoknya belum terbang aja. Saking telatnya, aku belum sempat mampir ke kost untuk ganti pakaian.

Jadilah aku terdampar kehabisan napas di pintu pemeriksaan tiket dengan pakaian standar anak magang dari jurusan manajemen perhotelan. Higheels dengan hak dua belas senti, rok hitam ketat beberapa senti di atas lutut, dan baju kemeja dengan aksen gelombang bunga di bagian kancingnya yang tentu saja sudah tak jelas saking kusutnya.

Oke, gak ada hari yang lebih apes dari hari ini mungkin.

Aku melirik sekilas layar besar yang berisi informasi keberangkatan. CGK-PLM 13.35 WIB. Sepuluh menit lagi. Gak telat. Tekor beli tiket kalo sampai telat. Baiklah, tarik napas Ghea.

Ruang tunggu dipenuhi oleh kaumku. Ha...kaumku. Terbukti dari logat dan cara ngomong mereka yang khas. Bahasa kampung halamanku. Hampir semua huruf vokal di akhir kata berubah menjadi 'o'.

Ah...Thanks God, delay. Delay sepuluh sampai lima belas menit dari jadwal itu biasa. Mungkin mbak-mbak pramugari lagi beraksi dengan kemoceng. Membersihkan debu yang menempel di kursi pesawat pikirku geli.

Aku melangkah perlahan, berusaha mengacuhkan tatapan nakal beberapa kaum Adam yang jelas-jelas mengarah ke rokku yang pendek dan super ketat. Apalagi bunyi hak sepatu yang berbunyi tak tuk tak tuk tajam. Kampret, sepatu ini. Makin memancing lirikan mereka padaku.

Tapi tiba-tiba badanku menegang, kulihat juluran tangan persis di samping pahaku. Bahkan, salah satu jarinya tadi sempat agak kena ke kulitku. No!...jangan coba-coba melecehkan saya, Tuan!

Aku berbalik tiba-tiba, sudah siap dengan kuda-kuda. Tanpa pikir panjang aku mendaratkan dengkulku tepat di selangkangan lelaki yang sedang bangkit dari posisi membungkuknya. Rasakan!

"Ugh...aduuuh!" serunya sambil meringis. Berbarengan dengan suara beberapa gadis yang berteriak, "Captaiiiiiiin......"

"Flashdisk Anda jatuh tadi, saya cuma mau ngambil," katanya sengit ke arahku sambil membuka tangan satunya yang sedari tadi tergenggam. Otakku langsung out dari tempatnya.

Aku menggigit bibir. Memandangi si lelaki yang menjadi korban tendanganku. Lelaki dengan seragam putih yang biasanya bikin pemakainya terlihat gagah, sekarang kelihatan meringis-ringis tak keruan sambil memegangi selangkangannya. Matanya merem melek menahan sakit dan mungkin amarah sekaligus.

"Ma..maaf," ujarku terbata."Saya gak tau ka...kalau...,"

"Len, tolong hubungi petugas darat. Minta seseorang menggantikan saya," katanya kepada salah satu pramugari yang tadi ikut berteriak gara-gara kelakuanku.

"Oke, Capt," sahut si pramugari sambil melangkah dan memandang ke arahku dengan tatapan membunuh. Astaga Mbak, kalau boleh memilih lebih baik saat ini daku kau cincang dan lempar ke piranha. Malunya gak ketahan lagi.

Anesthetized [Terbit]Where stories live. Discover now