Dibuang Sayang :p

14.3K 1.4K 157
                                    


"Hei, Nyonya Agil. Capek, ya?" 

Aku menyapanya yang baru keluar dari pintu utama hotel dengan cemberut. Membukakan pintu dan menutupnya kembali dengan perlahan setelah Ghea masuk. Kalau dipikir-pikir, kebiasaan ini baru berlaku karena aku pernah dipelototi Ghea dengan tuduhan sangat tidak romantis. Jadi, sekarang sebisa mungkin aku menyenangkan ibu-ibu berperut buncit ini dalam keadaan apa pun.

"Ghea ngantuk! Nyetirnya yang lembut," perintahnya. Kemudian dia memejamkan mata tak menghiraukan keberadaanku yang harus pontang-panting melarikan mobil dari AlMedika untuk menjemputnya. Sambutan seperti apa lagi yang bisa kuharapkan?

Satu bulan sejak pernikahan kami, Ghea dinyatakan positif hamil lima minggu. Sesuatu yang membuatnya mendelik dan diam seribu bahasa setelah selesai menjalani antenatal care perdana. Aku menyengir senang, sementara Ghea merutuk di sepanjang perjalanan.

"Kamu kenapa sih, Ghea? Kok kayaknya enggak senang?" tanyaku akhirnya, mengalah untuk bertanya, karena sejak perjalanan dari rumah sakit hingga sampai ke apartemen, Ghea hanya diam membisu.

Dia masih memajukan bibirnya, melengos ke dapur. Aku menghela napas panjang dan kembali memusatkan perhatian pada rekam medis pasien yang akan dijadwalkan operasi, sengaja kubawa ke rumah untuk dipelajari. Konsekuensi kesibukan yang membuat Ghea sering manyun sepanjang hari.

"A' Agil!"

Aku meletakkan berkas dan memilih untuk menatapnya. "Hm?"

"Ghea lagi ngambek kok enggak dibujukin?"

"Emang kamu ngambek kenapa?" tanyaku bingung. Tadi perasaan aku sudah bertanya, dan dia memilih untuk tidak menjawab.

"Ish! A' Agil gitu," rajuknya. Kemudian mengempaskan diri di sebelahku. "Dibujuk-bujuk dong, kalau Ghea ditanya sekali enggak jawab, tanya sepuluh kali!" Hng?

"Kenapa? Coba cerita yang jelas, kamu ngambeknya kenapa?" tanyaku sabar.

Seandainya Ghea adalah Kalila, mungkin aku bisa langsung menebak pemicu rajukannya kali ini. Tapi, Ghea adalah Ghea. Sekeras apa pun usahaku dalam memahaminya, tetap saja ada banyak hal-hal yang tidak terduga. Aku berani mempertaruhkan si Biru, bahwa Edward Cullen pun takkan mampu memperkirakan apa yang ada di otaknya.

"A' Agil enggak sayang sama Ghea dan dedek bayi!"

Hah? Aku hampir tersedak kacang kulit yang tengah kusantap. "Kamu menarik kesimpulan begitu, dari mana?"

Lama Ghea terdiam, memilin ujung bajunya. Lengkap dengan cebikan bibir dan matanya yang memerah menahan tangis.

"Kenapa, Ghe?" ulangku lagi.

"Kenapa A' Agil milihnya ke dokter yang enggak kompeten?" repetnya. "Masa Ghea baru nikah sebulan dibilang hamil lima minggu. Kan... kan? Enggak bener itu dokternya."

Aku langsung menggaruk kepala yang tidak gatal. Beginilah selalu yang kurasakan ketika menghadapi Ghea. Hal yang sama sekali tak bisa diprediksi.

Kubuka mesin pencari informasi tahu segala. Kuterangkan dengan perlahan penyebab diagnosa Reina yang belum sepenuhnya dipahaminya. Ghea mengerjap beberapa kali seraya menerima informasi. Responsnya hanya ber-oh-oh beberapa kali.

"Ngerti, kenapa bisa begitu?" tanyaku.

Ghea diam, menatap mataku. "Jadi, Ghea bukan hamil duluan, 'ya?"

Aku menggeleng tanda menegaskan. Berangsur-angsur, senyumnya yang tadi hilang di sepanjang perjalanan sudah mulai kembali. Entah apa yang dia pikirkan, semburat kemerahan di pipinya bergerak-gerak seiring cengirannya yang lebar. Jemari demi jemari dikatupkannya seolah sibuk menghitung sesuatu.

"Udah? Jadi enggak ngambek lagi dong?" bisikku di telinganya.

Ghea menegak, dia menatapku lagi dengan pandangan yang membuat perasaanku langsung tak enak.

"Kok A' Agil enggak langsung bilang hal yang beginian sih?" gerutunya. Salah lagi?

"Kamu enggak nanya."

"Ya... tapi harusnya jelasin dulu dong. Masak Ghea pake ngambek baru diterangin," dumelnya kesal.

Loh?

"A' Agil pikir kamu tahu, Ghea," jawabku sabar. "Jadi—"

"Mana tau, Ghea 'kan bukan dokter," sengitnya. "Kalau Ghea dokter dan ngerti beginian, nggak ada tuh kasus vampir medusa yang jerit-jerit gara-gara Ghea bius."

Aku mengepalkan tangan untuk menyumpal mulut agar tidak tertawa. Masih terbayang dengan jelas kelakuan anarkis Ghea yang akhirnya kumanfaatkan sebagai jalan untuk mempertemukan dia dengan keluarga besarku.

"Iya... iya, nanti kalau ada sesuatu yang kamu belum paham, jangan berspekulasi. Langsung tanya aja," ujarku akhirnya.

"Tetap aja! Harusnya A' Agil tuh bisa memperkirakan reaksi Ghea bakal seperti apa," cerocosnya. "Udah siapin jawaban buat nenangin Ghea."

"Kalau kamu enggak ngomong, mana A' Agil bisa tahu, Ghea."

Kali ini air mata benar-benar turun di pipinya, membuatku terkesiap. Dia tersedu-sedu sembari melirikku yang hanya bisa diam tanpa tahu harus berbuat apa. "Katanya pengin mengerti Ghea, hal yang kayak gini aja enggak bisa," tuntutnya di sela isakan.

Aku hilang kata. Sembari meraih tubuhnya agar bersandar di dadaku dan mengusap pelan rambutnya yang berantakan. "Iya, maafin A' Agil ya, Ghe. Lain kali akan lebih berusaha," janjiku akhirnya.

Dalam hati ingin rasanya aku memaki, ini kerjaan hormon kehamilan atau emang kelakuan Ghea yang selalu berusaha membuatku serba salah?

-oo0oo-

Kalau ada satu hal yang bisa Ghea lakukan dengan sangat profesional itu adalah marah-marah. Aku tak pernah bisa mengerti kenapa untuk urusan yang satu ini kemampuan Ghea seakan selalu diperbarui setiap harinya. Terlepas dari siapa pun yang membuat gara-gara, Ghea tetap selalu menjadi pihak yang tak pernah salah.

"Ghea, ini sudah jam tujuh lewat lima. Kamu lagi apa?"

"Hah? Kenapa enggak bilang dari tadi udah jam segini. Ish!" Ghea melempar tatapan kesal dan buru-buru beranjak ke kamar mandi.

Dengan setengah hati aku merogoh saku, mengambil ponsel untuk menghubungi Aldebaran. Pagi ini, kami ada jadwal operasi bersama.

"Al?" Ponsel sengaja kuaktifkan mode loudspeaker supaya aku bisa sambil mengerjakan hal lain.

"Di mana lo? Gue udah di RS."

"Sorry, gue agak telat dikit. Nungguin Ghea dulu."

Al berdecak. "Satu jam lagi bisa nyampe ke sini, 'kan?"

"Gue usahain, Al. Soalnya ngantar Ghea dulu ke hotel."

"Dia nggak bisa naik taksi atau apa gitu?" gerutu Al, mulai sebal.

"Bisa. Cuma gue enggak mau kena risiko disidang Mami. Peraturan Mami benar-benar mengerikan pas tahu Ghea hamil, Al."

"Paham gue. Lo yang udah anak tiri jadi berasa anak pungut," sindirnya. "Kalah sama Ghea."

"That's true," ucapku lelah.

"O ... jadi, karena Ghea, A' Agil ngerasa jadi anak pungut gara-gara Ghea?" Suara dingin di balik punggung membuatku terkesiap.

"Hajar aja, Ghe!" seru Al dari ponselku. "Tapi, balikin dia ke AlMedika satu jam lagi. Kita ada operasi soalnya."

Buru-buru kujangkau ponsel dan menekan pemutus sambungan. "Enggak gitu, Ghea." Muka Ghea sudah dua kali lebih menyeramkan ketimbang tadi sebelum masuk ke kamar mandi. Fuck! Hormon kehamilan sialan!

Memandangi Ghea yang mendahului ke luar kamar membuatku sadar akan satu hal. Ada hal-hal gila yang selalu aku rindukan saat kami terpisah jarak.


Hahaha...anggep aja ini dibuang sayang, udah ditulis soalnya. Dibaca boleh, dilepeh juga boleh. wkwkwk...cuma lagi kangen sama ni anak dua ;)

Anesthetized [Terbit]Where stories live. Discover now