Lepas Kendali

72.8K 5.3K 392
                                    

Dulu Al pernah bilang, terbangun dari tidur lelap sepanjang malam dan menyadari kalau kamu punya gebetan atau pacar atau kekasih bisa membuatmu senyum-senyum sendiri.

Saat itu, aku hanya mengedikkan bahu ketika mendengar kalimat yang keluar dari mulut dokter jantung yang mesum itu. Masa iya sampai sebegitunya?Tapi ternyata...

Oke, aku akui. Saat ini aku...ah...merasa biasa saja.

Bohong, Gil! Tapi, ditambah senyum-senyum sendiri mungkin. Dikit.

Sedikit? Faktanya, ketika aku menatap cermin, entah siapakah wajah yang tersenyum begitu lebar sampai terlihat—sedikit—konyol. Astaga! Dan itu pastinya menggelikan untuk ukuran diriku yang kata orang, manusia tanpa ekspresi ini.

Selama tiga puluh dua tahun kehidupanku, baru aku mengenal rasa yang sulit untuk didefinisikan. Dulu, aku pernah salah mengartikan, bahwa aku jatuh cinta pada adik angkatku sendiri, Kalila. Dengannya aku merasa terpanggil untuk memperhatikan, berkorban, melindungi, menjaganya, dan lainnya. Tapi, dulu aku tak pernah merasakan sesuatu yang kuat seperti yang aku rasakan kepada Ghea saat dia pergi dinas ke Surabaya bersama Ian waktu itu. Suatu rasa yang begitu mengganggu sampai rasanya ingin meretakkan tengkorak kepala Ian, yang Al namai dengan nama cemburu.

Sekarang, mari kembali ke rutinitas subuh yang mampu membuat jantungku takikardia. Hanya ini yang bisa kulakukan sebab dalam seminggu ini jadwal operasi padat sekali sementara salah satu rekanku sesama dokter anestesi cuti mendadak karena orang tuanya meninggal dunia.

"Hallo?" bisiknya serak. Astaga, cuma suara serak ini saja mampu membuat otakku membayangkan yang tidak-tidak.

"Bangun?"

"Kalau saya ngangkat telepon begini, apa namanya tidur?"

Astaga...walaupun suaranya terdengar menggerutu, tapi di telingaku malah terdengar seperti kata 'habis kamu ngangkat tubuh kamu dari tubuhku tadi malem, aku belum cukup tidur'. Sial!

"Oke."

Klik, kuputus teleponnya. Hanya itu?! Jelas, kalau percakapan dengan suara serak dan seksi itu berlanjut, bisa ditebak kalau aku bakal terbirit-birit ke kamar mandi untuk mengguyur seluruh tubuhku.

-oo0oo-

Siang yang cukup melelahkan, masih ada waktu setengah jam sebelum istirahat siang. Kali ini aku tidak ingin melewatkan makan siangku lagi seperti beberapa hari belakangan ini gara-gara sibuk di ruang operasi. Hm...bagaimana kalo aku menelepon Ghea dan mengajaknya makan siang? Baiklah, saatnya aku menggunakan statusku sebagai kekasih, atau bosnya? Tergantung...

"Hallo, Ghea?"

"Iya, Pak?"

"Kamu lagi ngapain?"

"Apa? Kerja lah! Bapak takut saya nyantai atau keluyuran terus merugikan hotel?"

Kenapa sih galaknya gak ilang-ilang?

"Gak. Aku mau ngajak kamu makan siang," kataku to the point.

"Oh...Saya udah makan, Pak!"

"Kapan?"

"Barusan selesai."

"Bukannya jam istirahat masih setengah jam lagi, Ghea!"

Suaranya berubah kikuk, "Tapi saya lapar! Tadi pagi cuma sempat minum susu segelas."

Aku hampir tertawa mendengar pengakuan dosanya. "Hmm...baiklah, kalo begitu besok kita makan siang bareng!"

"Ogah!"

Anesthetized [Terbit]Where stories live. Discover now