Edisi Iseng. Jangan Dibaca!

69.3K 4.2K 270
                                    


Alvaro Gibran Bachtiar, 17 tahun kemudian...

"Pah," panggilku kepada si Papah yang sok sibuk baca koran.

"Hmm?"

"Pah...!"

"Kenapa Gibran?" katanya dengan nada terganggu. Menurunkan koran dari pandangannya dan kemudian balik menatapku.

"Tandatangan!"

"Bukannya kamu tau kalo Papah gak bisa sembarangan tandatangan, Gibran?"

Beliau menerima selembar kertas yang kuulurkan dan mulai membacanya. Sejenak, raut wajahnya tak terbaca. Namun senyum kecil sedikit menghiasi bibirnya sesaat kemudian.

"Jadi kenapa?"

"Om Zein gak ngasi aku jalan sama Wenna kalo Papah gak tandatangan di situ," tunjukku ke selembar kertas tertulis MOU. Selembar kertas yang diulurkan Om Zein begitu aku dengan senyum cemerlang dan mobil nilep punya Mamah mengetuk pintunya kemarin malam.

Selembar MOU yang berbunyi :

1. Gibran dilarang datang ke rumah sebelum perjanjian di tandatangani.

2. Harus diketahui orang tua wali.

3. Pacaran gak boleh di luar, harus di rumah saja. Ditemani Om Zein atau Tante Medina.

4. No SKINSHIP anymore!

5. Salah satu dilanggar, Gibran di blokir dari dunia Ismail Family.

Papah mengerutkan keningnya, "Kenapa tiba-tiba Zein memberikan ini?"

"Mana kutahu."

"Gibran!"

"Gibran ngajak Wenna nonton dan pulang jam sepuluh malam."

"Lalu?" Mata Papahku menyipit, laser dari beliau tak pernah bisa aku hindari.

"Nyium dikit," ujarku pelan.

"Nah! Pantesan Om Zein begitu," tutupnya melempar kertas MOU dan melanjutkan membaca koran. Seakan aku adalah makhluk astral di depan mata.

"Pah?"

"Hmm?"

"Harusnya Papah tahu kan kenapa bisa kejadian begini?" tanyaku dingin.

"Kenapa?" katanya masih dengan nada datar.

"Om Zein cerita, dulu ada Om-om bangkotan gak tau diri yang doyan nyosor Mamah Ghea dengan panasnya. Makanya, Om Zein gak percaya kalo aku gak akan melakukan hal yang sama karena darah yang sama mengalir di nadiku. MOU ini sebagai jaminan bahwa aku gak akan melakukan hal yang sama seperti si Om-om itu dulu."

Papah menatapku tajam.

"Mah, apa aku harus mindahin Wenna ke samping kosku dan kemudian menciumnya sepulang kuliah?" teriakku kepada Mamah yang lagi sibuk di dapur.

Papah mendengus, dia merampas kertas MOU di tanganku dan kemudian menandatanginya cepat.

"Darah kemenangan memang mengalir di keluarga Bachtiar," tutupku telak.

Tanpa terasa, sandal rumahan papahku itu melayang membentur kepalaku dengan kerasnya.

Terserah! Yang penting aku bisa ngajak Wenna jalan!

Bodo amat sama Papa Pestisida itu. Dia udah kehilangan masa kejayaannya. Hahaha....




Anesthetized [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang