Kode Mengerikan!

60.2K 4.7K 397
                                    

"Ghea...," panggilan dengan nada menuntut di belakangku terdengar. Aku tersadar seketika dan melepaskan pelukan lelaki dari masa laluku ini. Kemudian kedua lelaki ini bertatapan dan Agil terlihat shock. Seperti melihat hantu!

"Siapa?" tanya keduanya bareng, dengan suara yang sama menuntutnya. Astaga!

"Eh, Zein.... Ini Agil, bos gue. Dan Pak Agil, ini Zein, adiknya Zeid," jelasku.

Agil menyodorkan tangannya kepada Zein, dengan angkuhnya berkata, "Agil, pacar Ghea sekarang!" katanya menekankan kata 'pacar'. Ditambah ekspresi menyeramkan yang kuyakin sebagai balasan karena aku menyebutnya 'bos' tadi. Mati aja Ghea!

"Zein, seperti yang tadi disebutkan Ghea. Adik tunangannya kalo boleh ditambahkan!"

"Mantan tunangan," sergah Agil.

Aura peperangan langsung terasa. Haduh!

"Zein...," panggil seseorang di belakang kami. Memecah konsentrasi dua lelaki yang sudah siap untuk saling bunuh.

Aku membeku ketika Zein memutar tubuhku dan menghadap wanita itu. Wanita yang menyimpan goresan penuh makna di masa laluku.

"Ghea?" Suara yang sangat kukenal dan tentu saja terpatri dalam ingatan. "Ghea, kan?"

Aku mendekati sosok itu perlahan. Waktu seakan berhenti di saat kami berpandangan. Semuanya meluruh dan luluh lantak menjadi satu. Semua himpitan emosi kembali terasa dan menekan seluruh sudut tubuhku saat akhirnya aku menubruk beliau dan menangis kencang dalam pelukannya. Pelukan yang kurindukan. Pelukan yang terasa seperti rumah. Pulang...aku pulang.

"Ta...Tante," isakku. Makin erat beliau memelukku, seakan semua kerinduan ini bisa terbayar tunai dengan sebuah pelukan erat.

"Kita ngobrol di kamar Tante, Ghea," katanya menggandeng tanganku. Meninggalkan kedua lelaki yang masih mematung di koridor rumah sakit.

"Apa kabar, Ghea?" tanyanya tenang setelah isakanku mereda. Saat ini kami berdua duduk berdampingan di sofa kamar perawatan beliau.

"Seperti yang Tante liat," kataku setelah tenang dan duduk di sebelah beliau. "Dan Tante?" tanyaku menyipitkan mata. Menilai kondisi fisiknya yang jelas terlihat berbeda.

"Hanya penyakit orang tua biasa," kilahnya.

"Dan Tante belum setua itu," balasku sambil tersenyum.

"Rasa-rasanya siapa pun bakal cepat menua kalau ditinggalkan anak-anaknya, Ghea," katanya lesu.

Aku terhenyak mendengar jawabannya, "Tan...," aku kehilangan kata-kata.

"Sudah menikah, Ghea?" tanyanya lagi.

Hanya bisa menggeleng dan beliau kembali memelukku erat sekali, "Kenapa Ghea? Kenapa Ghea belum juga menikah?"

"Belum dapat jodohnya," jawabku diplomatis.

"Tante benci mengatakan ini, tapi Tante pikir saat Ghea dulu meninggalkan kami semua, suatu saat Tante bakal bertemu dengan Ghea yang sudah bahagia," isaknya.

"Ghe...Ghea gak pernah mau ninggalin Tante," lirihku dalam dekapannya.

"Tante tahu. Keadaan yang membuat Ghea seperti itu? Tapi, Ghea baik-baik saja selama ini?"

Salah satu orang yang paling tidak ingin kubohongi adalah wanita di depanku ini, "Sejauh ini baik, meskipun kadang masih larut dalam malam-malam menyesakkan, Tante," jawabku.

"Tante bahagia Ghea masih bisa bertahan, karena tidak semua orang bisa bertahan sebaik Ghea, Tante rasa."

"Bertahannya Ghea hanya dengan mencoba untuk hidup dari hari ke hari. Hanya itu," tuturku jujur. "Melewati satu hari yang berat dan penuh kesibukan hingga malamnya Ghea bisa terlelap saking lelahnya."

Anesthetized [Terbit]Where stories live. Discover now