Kadar Endorfin

65K 4.6K 226
                                    

Terlalu berlebihan rupanya mengharap dia terharu dengan penyambutanku yang sedemikian rupa? Paling tidak kuharap kalimatnya adalah 'thanks for your surprised bukannya what are you doing here!'.

"Menurut kamu?" tanyaku masih bersandar di dinding. Mataku mengikuti gerakannya yang kini mengitari keseluruhan isi apartemen. Bolak-balik seperti bombomcar di pusat mainan anak-anak.

"Bagus!"

"Apanya?"

"Tempatnya bagus. Banget."

"Hanya itu?" tanyaku kepada Ghea yang malah mengerutkan kening tanda berpikir.

"Bapak tinggal di sini juga?"

"Ya."

"Kenapa sih idup saya sengsara banget?"

"Bagian mananya yang keliatan sengsara?"

"Gak di hotel, gak di mess kudu barengan Bapak juga! Adoooooh...," jeritnya sambil menepuk jidatnya kencang.

Seingatku, aku cuma bisa meluangkan waktu ke hotel sebulan dua kali. Jadi, bagian mananya yang dia bilang 'kudu barengan Bapak juga'? Hanya dua kali sebulan, Ghea!

"Kudu barengan sama aku dari mananya Ghea?"

"Kamarnya cuma dua," sungutnya.

"Kenapa dengan jumlah kamarnya, Ghea?" tanyaku penasaran. Memangnya dia berencana memindahkan seluruh warga kost-nya ke sini? Dua kamar kupikir lebih dari cukup!

"Lah, terus saya tidur di mana? Kamarnya cuma dua, yang ngehuni ada lima orang paling gak. Yang besar pasti jatah Bapak ama Erick, yang kecil saya bareng sama Vania dan Mba Ell. Enam sama anaknya Mba Ell. Tujuh kalo Pak Ian ternyata ikutan tinggal di sini juga. Jatah saya sofa di ruang televisi ini deh kayaknya. Itu juga kalo Erick betah desak-desakan bertiga ama Bapak, kalo saya telat dikit menjajah sofa, alamat tidur di lantai, Pak," cerocosnya seperti petasan baru disulut.

Kali ini aku benar-benar melongo. Kambing dipakaikan bedak juga takkan bisa membuatku sebegini melongonya.

"Nyesel deh saya tadi siang ngelepasin kost. Udah pede pamitan sama Ibu Kost bilang dapet fasilitas mess dari kantor," rutuknya sambil bersandar di dinding layaknya orang frustrasi.

"Nyesel?"

"Bangetlah."

"Kenapa? Karena ngerasa lebih nyaman di kamar kost?"

"Itu juga. Selain itu, gini-gini mah saya orang baik, Pak. Gak pernah saya tumplek blek serumah sama kaum Adam. Bisa stroke Bapak saya di rumah kalo tau, paling paitnya bakal dikawinin paksa," keluhnya masih menggerutu.

"Kawin?"

"Iya kalo cowoknya satu, lah ini minimal tiga! Empat sama anak Mbak Ell kalo pun diitung juga. Bapak saya bakal bingung mau kawinin sama yang mana."

Aku bahkan bisa tersenyum lebar, "Kalo hanya itu cara buat nikahin kamu, kenapa gak dari dulu ngomong, Ghea?" tanyaku. "Cukup tinggal serumah dan bakal dikawinin?"

Dia mendelik marah. "Ah...Bapak gak ngerti sih. Kalo kata Bapak saya inget iman, Pak!"

"Ah, kamu kalo lagi ciuman emangnya ingat iman, Ghea?"

Ghea langsung manyun, "Dalam iman juga ada khilaf, Pak!"

Saat ini aku menyadari, menggoda Ghea lebih menarik daripada menggoda Mami.

"Kenapa sih harus barengan ama cowok messnya?" gerutunya lagi.

"Kenapa harus misah kalo bisa ngumpul?" tanyaku usil. "Aku gak suka LDH, Ghea?"

Anesthetized [Terbit]Where stories live. Discover now