12. Surprise

4.5K 673 69
                                    

Kalau bisa sebelum baca bab ini, baca bab "hidden party 2 : The Woman" di karyakarsa ya. Mencegah kebingungan. Tapi yang bisa menyimpulkan tanpa harus baca kk, boleh silakan langsung dibaca.

Selamat membaca, terima kasih sudah vote, komen, dan mampir ke lapak si bapak yang updatenya selemot diriku :')

I w♡♡f w♡♡f so much pokoknyai~

===

Surprise

(n) an unexpected or astonishing event, fact, or thing.

(v) (of something unexpected) cause (someone) to feel mild astonishment or shock.

(v) startle, bemuse, daze, stagger, baffle, amaze.

==

Lututku lemas. Tubuhku seakan tidak punya daya begitu memasuki taksi daring. Pikiranku kacau balau. Kenapa semua kehidupan pribadiku seakan tak punya sekat di mata bapakku? Kenapa semesta harus mempertemukanku dengan manusia satu ini? Dan kenapa dari semua bidang pekerjaan, dia harus jadi bosku?

Jodoh mungkin. Bisik setan di telinga, yang langsung membuatku mengucap 'amit-amit' berulang kali.

Aku memijat kepala. Kata-katanya terus berlarian di kepala. Tinggal dengan bebas tanpa bisa kuusir pergi.

"Kamu nggak percaya kalau saya temenan sama ...," dia menjeda hanya untuk memamerkan seringai kemenangan, "crush kamu?"

Kemudian dia segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. Panggilan itu dalam mode pengeras suara. Sengaja bapakku lakukan agar aku bisa mendengar suara di seberang.

"S'up, Bro. Lagi di mana?"

"Lo kenapa akhir-akhir ini gangguin gue, Ga?" tak ada sapaan, hanya suara kesal. Namun aku bisa langsung mengenali suara di seberang telepon.

"Mendadak gue inget Robin yang dulu di ekskul futsal."

Suara di seberang hanya berupa gumaman singkat. Kelihatan tidak tertarik dengan obrolan bapakku. "Yang pernah lo pukulin, kan? Gara-gara apa waktu itu? Lupa gue."

"Bentar, waktu itu yang maju duluan emosi sumbu pendek kan lo. Gue cuman bantuin."

"Reaksi alamiah. Solideritas ke lo."

"Omong-omong, gimana kalau kita bikin reuni?"

"Dan ketemu muka-muka kalian lagi? Dih."

Bapakku kelihatan masih ingin banyak bicara, namun suara di seberang mengucap, 'capek. Gue tutup.' Lalu terdengar sambungan terputus. Aku sempat melihat muka bosku yang kebingungan sebelum dia menutupinya dengan kata-kata, "See. Dia sahabat baik saya."

Ada sepercik rasa ingin memarahi bapakku ketika suara di seberang terdengar. Ada pula setitik ingin tertawa ketika telepon dimatikan secara sepihak. Akan tetapi, titik-titik rasa itu terhapus oleh masalah yang lebih gawat. Bapakku benar-benar berteman baik dengan pria yang kusuka. Bahkan pertemanan mereka berlangsung saat keduanya masih belajar di bangku sekolah.

"Gimana, Lalita?"

Lama aku diam. Bergulat dengan pikiranku sendiri. "Saya ..., nggak bisa bantu, Pak Dirga. Mohon maaf."

Lagipula, aku tidak ada cita-cita mengencaninya. Rasa sukaku, akan kunikmati sendiri tanpa butuh pembalasan.

"Kamu nggak pengen saya bantu deketin dia? Saya selalu sukses jodohin orang loh, Lalita."

"Saya ...," kalimatku menggantung di udara sementara pikiranku tidak bisa bekerja. Memilih bohong adalah yang terbaik, "Tidak ada rasa apa-apa pada temen bapak. Itu cuman prediksi Pak Dirgantara saja."

BOSS IN MY RED ROOMWhere stories live. Discover now