13. Bungee Jumping

3.9K 672 58
                                    

(n) the activity of leaping from a high place while secured by a long nylon-cased rubber band around the ankles.

(n) adrenaline and heart pumping activities.

==

Apa aku pulang saja? Atau tetap di sini? Sungguh dilema hati ini. Kalau aku pulang, aku tidak perlu mendengarkan omongan bapakku yang selalu berhasil membuat jantungku bungee jumping. Semisal aku tetap di sini, aku bisa menjaga mulut bapakku agar tetap diam dan tidak berkoar-koar mengenai perasaanku.

Keputusanku jatuh pada pilihan tetap tinggal. Meskipun harus senam jantung, setidaknya harga diriku tidak dicabik-cabik di depan Pak Maheswara.

"Gimana? Enak nggak?" tanya bapakku setelah makanan disajikan di meja kami. Informasi tambahan, Pak Maheswara dan Pak Pradipta ikut bergabung makan malam dengan kami berdua. Membuatku seakan-akan terdampar di planet asing.

"Enak," jawabku singkat. Jujur saja, lidahku tidak bisa merasakan rasa makanan.

"Pesan lagi, Lalita, kalau masih lapar. Nggak perlu makan piringnya," ujar Pak Maheswara secara tiba-tiba.

Aku berusaha tidak tersipu-sipu ketika menjawab "Iya, Pak." Mencegah bapakku agar tidak menahan tawanya yang selalu bisa membuatku jengkel.

"Lo jadi ke Maroko?" tanya Pak Pradipta. Tatapannya terarah ke Pak Maheswara.

"Hm, nunggu ACC cuti aja."

"Lo jadi cuti selama 12 hari?" bapakku menimpali sementara tangannya masih sibuk dengan sendok dan garpu.

"Hm," jawabnya singkat. Membenarkan kata-kata bapakku. "Dua belas hari cuti tambah empat hari libur."

Aku tahu Pak Maheswara suka berpelesir dan memanfaatkan waktu cuti tahunannya untuk traveling, tapi ini pertama kalinya ia mengambil cutinya sekaligus. Yang dulu-dulu, dia hanya mengambil tiga atau empat hari--dengan tambahan dua hari libur.

Kenyataan ini menghantamku begitu keras. Minat makanku seketika hilang dan apesnya, bapakku menyadarinya. "Lalita, kamu nggak boleh minta cuti bareng Pak Maheswara."

"Kamu mau cuti juga, Lalita?" tanya Pak Maheswara. Alisnya kompak naik.

Aku menggeleng cepat. "Nggak, Pak Maheswara. Bapak Dirgantara mana bisa ditinggal sendiri. Suka salah gaul. Kemarin saja dimintai pertanggungjawaban sama Cynthia, resepsionis di lobi kita."

Telingaku bisa mendengar bapakku terbatuk-batuk. Sengaja mataku tak beralih padanya, hanya melihat Pak Maheswara dan Pak Pradipta bargantian. Aku juga tidak berniat untuk menolongnya memberi minum agar batuknya reda. Kalau bisa bapakku keselek sampai kehabisan napas lalu istirahat dengan tenang di alam baka.

“Apa ini artinya?” Pak Maheswara menyahut. Melihat aku kemudian berganti ke arah bapakku. Punggungnya menegak. “Kenapa ada kata pertanggungjawaban?”

“Siapa nih, Cynthia?” tanya Pak Pradipta. Untuk pertama kalinya, dia terlihat berniat untuk berbincang denganku. Mendadak tertarik dengan apa yang kubicarakan.

“Maksudnya saking banyaknya teman Pak Dirgantara yang nyariin beliau, Cynthia jadi kerepotan. Belum lagi hadiah-hadiah yang sering datang ke lobi buat Pak Dirgantara,” terangku. Mencampur antara fakta dan bohong. “Cynthia itu resepsionis termuda di kantor kami, Pak Pradipta. Dia sukanya lipstik dari merek Dior.”

Suara batuk telah menghilang dari pendengaranku, digantikan suara bapakku yang memanggil namaku dengan nada penuh penekanan. Membuat kepalaku akhirnya menoleh pada bosku. Begitu sepasang mata kami bertemu, bibirnya melengkungkan senyuman mengancam. “Hes,” katanya berpaling cepat dariku, “gue denger gosip dari kumpulan sekretaris kalau ada salah satu dari empat sekretaris kantor kita, yang naksir sama lo.”

BOSS IN MY RED ROOMOnde histórias criam vida. Descubra agora