16. Like

3.6K 628 81
                                    

"Stop dulu perkara suite," kataku sambil menggeser tubuh, mencari posisi lebih nyaman lagi, "kita cari dulu tempat buat lo tidur malam ini. Lo di mana sekarang?"

"Di salah satu kamar yang disediain hotel gue kerja. But I can't stay, Lala. Ngeri banget tempatnya."

Rasanya seperti mendengarkan diriku sendiri di masa lalu ketika merengek minta ini itu pada Talita. "Ya makanya, keluar aja dari situ dulu. Gue pesenin kamar. Bagi lokasi lo sekarang, nanti gue cariin hotel terdekat. Eh, nggak perlu ding, gue reservasi aja di situ. Hotel tempat lo kerja."

"Jangan nambahin masalah gue, La! Gue anak baru di sini, masa mendadak mau nginep dan minta dilayanin senior gue."

"Udah, ngundurin diri aja. Nanti gue ngomong ke papa biar lo bisa nempatin posisi lo yang sudah lama kosong."

Biar kak Tata yang terlibat dengan bapakku. Aku akan keluar dari perusahaan dan tak menampakkan diri. Lalu berfokus pada Pak Maheswara yang baik dan ramah sambil mendatangi tempat-tempat yang telah dia kunjungi. Karena cintaku hanya untuk Pak Maheswara seorang. Titik.

"NOPE! Gue suka kerja di sini. Tanpa tekanan, tanpa intervensi papa."

"Cepat atau lambat, papa bakal tahu lo di sana. Dia bakalan nyeret lo keluar dari sana. Karena lo satu-satunya yang--" aku menoleh ke arah dapur sebelum melanjutkan kalimatku "--mumpuni jadi CEO di L.H. Mandala."

"Can we just stop talking about the CEO things?"

"Makanya," kataku yang juga ingin menyudahi perbincangan ini, "lo gue pesenin kamar dulu. Besok kita bicara."

"Lo nggak usah booking kamar. Biar gue sendiri yang pesen. Lo transferin gue aja. Gue kirim rekening gue setelah ini."

Dahiku berkerut. Entah kenapa aku mendadak curiga. Jangan-jangan, putusnya Kak Tata dengan Bena hanya kebohongan. Cerita palsu yang sengaja dibuat agar Talita kesayangan semua umat bisa meminta uang padaku. Kemudian uang itu akan disetorkan pada Bena.

Jujur, aku memang tidak pernah bisa berbaik sangka pada manusia setengah setan macam Bena.

"Wait, Lala. Gue punya another idea yang lebih baik."

Aku makin curiga saja sekarang, "Ide apa?"

Belum juga mendengar jawaban dari seberang, satu suara bisikan membuatku terlonjak kaget sampai-sampai ponsel yang kupegang meloncat dari tangan. "Kamu lama bener teleponnya. Lagi ngobrol sama siapa?"

Bapakku sudah berada di sampingku. Tubuhnya telah disejajarkan dengan tinggiku yang tengah duduk. Satu tangannya yang barusan berhasil menangkap ponselku, terulur untuk mengembalikan benda itu.

"Kakak perempuan saya," jawabku sambil cepat-cepat mematikan sambungan. Aku berharap semoga dia tidak mendengar hal-hal yang seharusnya tak didengar.

"Bapak butuh apa dari saya?" tanyaku karena dia tak segera meninggalkan tempatnya di samping sofaku.

Dia tidak langsung menjawab, hanya menatapku kosong. Sepertinya ada hal-hal yang tengah ia pikirkan begitu mendengar tanyaku.

"Pak Dirgantara?"

"Hm ..., kamu nggak makan? Tadi saya pesan beberapa dessert juga."

Aku menggeleng. "Saya masih kenyang karena makanan mahal tadi di restoran."

"Oke." Dia kemudian berdiri lalu memunggungiku. Langkahnya menuju dapur terhenti. Kurang dari dua detik tubuhnya berputar 180 derajat, kembali menghadapku. Ia berjalan cepat dan kembali menjajarkan posisi wajahnya dengan posisi wajahku, membuatku reflek memundurkan kepalaku. "Mahes sedang mandi, kamu nggak pengen intip ...."

BOSS IN MY RED ROOMWhere stories live. Discover now