salebmane

7K 936 41
                                    

Seorang pemuda tengah meringkuk di ujung ranjang. Kedua lututnya ia tekuk dan kepalanya ia letakan disana dengan kedua lengannya sebagai tumpuan.

Mata pemuda itu nampak bergetar dan kosong. Raut pilu jelas tersirat disana. Pemuda itu tidak berbicara apapun. Namun otaknya memikirkan banyak kemungkinan dan nasibnya sekarang.

Air matanya kembali mengalir dari kedua matanya. Ia menangis dalam diam. Ia mulai terisak menyesali takdir yang dituliskan untuknya.

Ia hanya ingin menjadi manusia normal. Menjadi laki-laki normal. Ia tau ia sebelumnya membuat kesalahan dengan menyukai sesama jenisnya. Ia lakukan itu karena traumanya dengan kaum perempuan. Tetapi disaat ia sudah mulai menyembuhkan traumanya dan mulai menyukai lawan jenisnya, sosok yang membantunya malah membuatnya punya trauma baru.

Ia masih teringat bagaimana sosok itu tidak memedulikan rintihan sakitnya. Ia seolah menulikan pendengarannya hanya untuk membuatnya tetap disisi sosok itu. Padahal tanpa diminta ia akan tetap berada disisinya walaupun ia sudah mencintai lawan jenis.

Pasti gadis pujaan hatinya itu akan jijik terhadapnya. Ia bukan hanya sudah tidak perjaka. Tetapi ia juga korban pelecehan. Ia bahkan pernah menyukai sesama jenis. Hah!  Pasti gadisnya tidak mau memandangnya.

Gadisnya? Haha bahkan dia tidak tau nama gadis itu. Miris sekali ia pasti akan di tatap jijik bahkan sebelum gadis itu juga tau siapa namanya. Lucu sekali ia bisa jatuh cinta pada orang yang baru sekali dilihatnya. Itupun hanya sebentar. Ia ingin mengungkapkan perasaanya, tetapi hatinya tidak siap dengan penolakan. Pasti ia akan dianggap gila, biar bagaimanapun mereka tidak saling mengenal.

Ia sudah kotor. Hidupnya sudah hancur. Lalu untuk apa ia hidup. Bahkan ia ragu Tuhan akan memaafkannya. Apakah lebih baik ia mati saja?

Pemuda itu menatap laci di nakas sampingnya. Sosok itu pasti menyimpan salah satu senjatanya disana. Ia membuka laci itu dan mengambil sebuah pistol disana. Tangannya bergetar tidak biasa dengan berat senjata itu.

Ia meletakan ujung pistol itu tepat pada jantungnya. Tangannya kini bergetar karena rasa ragunya.

Pintu kamar itu tiba-tiba dibuka kasa dari luar. Mata pemuda itu membilat takut melihat siapa yang datang. Kejadian semalam terputar begitu saja di kepalanya. Badannya gemetar hebat. Ia berteriak histeris ketika sosok itu mendekat. Dengan nekat ia menembakan pelurunya ke kepalanya. Dan setelah itu ia menembakan ke jantungnya. Sebelum ia kehilangan kesadarannya bisa ia dengar sosok itu meneriaki namanya.

"DAVA!!"

Alka menatap tak percaya pada tubuh Dava yang kotor dengan darahnya sendiri. Mata itu sudah tertutup. Ia mengambil pistol itu dan membuangnya asal. Ia memeluk tubuh pemuda itu. Ada setitik rasa sesak yang serasa meremat dadanya. Ada sedikit rasa sesal mengingat kelakuan nekatnya semalam. Yah sedikit.

Tak lama kemudian wajah Alka berubah datar. Ia meletakan mayat Dava perlahan, lalu menatap dingin tubuh itu. Ia sedikit menyayangkan nyawa Dava yang melayang sia-sia. Tapi sudahlah, anggap saja ini konsekuensi Dava karena berani ingin melepaskan diri dari cengkramannya. Karena ia tidak akan membiarkan kelincinya lepas kecuali dia sendiri yang ingin melepaskannya.

Ah! Ia sekarang kehilangan mainan kesayangannya. Tetapi kejadian di sekolah tadi membuatnya tanpa sadar menarik sudut-sudut bibirnya.

Alka mengambil hanphone di sakunya, menelpon salah satu tangan kanannya untuk mengurus mayat Dava. Cih! Kelinci naif. Matanya masih memandang dingin Dava.

Alka keluar menuju balkon kamar apartemennya itu. Bibirnya membentuk seringai aneh disana. Ia sudah tidak menyukai kelincinya itu, karena sekarang ia mempunyai mainan baru. Hah! Ia tidak sabar untuk membawa anak kucing itu ke dekapannya.

Help MeOnde histórias criam vida. Descubra agora