12. Keputusan

1.6K 289 44
                                    

Setelah acara selesai, mereka semua menginap di hotel di mana acara itu di adakan. Dan keesokan harinya mereka makan bersama untuk kedua kalinya sebagai keluarga utuh dengan status keluarga.

"Zayyan, mulai sekarang jangan panggil aku Paman Joon lagi, panggil aku papah, ya." Ayah sambungnya itu membuka suara.

"Iya, pah," jawab Zayyan singkat.

"Kalian berdua pun panggil aku mamah, bukan Bibi Lucy lagi."

"Hehehe iya, mah, jangan khawatir." Duo itu tampak bahagia dengan sesekali mencuri pandang ke arah Zayyan yang sedang menikmati makanan pembuka.

Mereka mengobrol-ngobrol kecil sampai makanan terhidang semua dan mulai makan dengan tenang.

Akhirnya papahnya itu bicara jika awal bulan seperti rencana awal, dia harus pergi untuk perjalanan bisnisnya. Kali ini dia tak sendiri ditemani oleh isteri barunya sekaligus untuk berbulan madu.

Mamahnya tampak malu-malu saat suaminya mengatakan hal itu langsung di depan anak-anak.

Mereka tampak tidak keberatan dengan hal itu karena memang sudah pada dewasa dan mengerti.

"Tenang saja, Sayang, mereka sudah pada dewasa, Sing dan Leo saja pacarnya gonta-ganti."

"Yah, jangan bongkar kartu kami!"

"Hahahaha kalian bisa malu juga."

Tinggallah masalah tempat tinggal. Zayyan bersikeras inggin tinggal di rumahnya. Dia bilang sudah biasa tinggal sendiri. Jangan khawatirkan dirinya. Semakin dia bicara seperti itu semakin membuat mamahnya sedih.

Dibandingkan mamahnya, ada dua orang yang jauh lebih kecewa lagi karena Zayyan menolak pindah ke rumah mereka.

Dua bocil itu pun terlihat berpikir keras. Dengan sesekali saling lirik. Entah apa yang tengah mereka pikirkan.

Acara makan-makan pun berakhir, papahnya mengantarkan Zayyan dan mamahnya ke rumah mereka untuk mengambil barang-barang.

Tampak koper-koper telah tersusun rapi, memang mamanya telah menyiapkan jauh sebelum acara.

"Zayyan ikutlah bersama kami," Mamahnya sekali lagi membujuknya. Walau tahu anaknya itu tipe yang tidak akan mudah mengubah keputusan yang telah dibuatnya.

"Kita sudah membicarakan ini, aku tidak apa-apa, tenang saja, aku akan sering-sering datang ke sana. Aku janji, Mah."

"Kapan pun kau berubah pikiran pintu rumah kami selalu terbuka untukmu, Nak."

Zayyan tak menjawab, dia hanya menganggukkan kepala.

Mereka pun berpisah meninggalkan Zayyan seorang diri di rumah yang begitu banyak kenangan itu. Dia benar-benar tidak ingin meninggalkan ini semua.

Zayyan merenung sesaat, dia tahu hari ini pasti akan terjadi, tetapi tetap meninggalkan kekosongan hati.

Sebenarnya sejak mamanya berniat untuk menikah, Zayyan sudah mempersiapkan segalanya, dia tidak ingin menjadi beban, usia mamanya sudah tak muda lagi sudah saatnya dia bahagia dan memikirkan dirinya sendiri. Dia pun tak ingin melihat mamanya bekerja keras untuknya.

Maka, dia sudah mulai belajar membuat roti dan kue, bersikeras akan menggantikan ibunya, bekerja di toko roti milik keluarga setelah lulus sekolah yang hanya tinggal beberapa bulan lagi itu.

Kuliah? Jujur Zayyan belum memikirkan itu, tetapi jika boleh memilih dia akan mengambil jurusan yang mendukung pekerjaan dia saat ini.

Selepas pulang sekolah, Zayyan rutin datang ke toko roti mamanya, perlahan dia belajar berbagai resep secara otodidak. Dan sudah berjalan tiga bulan penuh, roti dan kue buatannya sudah dijajakan di etalase tokonya.

사랑해요, Zayyan Hyungजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें