01. SMA BIMANTARA

2.4K 151 8
                                    

01. SMA BIMANTARA

***


Tahun 2019

Sorak sorai penonton memenuhi salah satu gelanggang olahraga di ibukota yang ditunjuk menjadi tempat turnamen nasional tingkat SMA dan sederajat diadakan.

Sebuah keluarga kecil turut serta menyaksikan pertandingan grand final yang mempertemukan SMA Bimantara dengan SMA Garuda.

Momentum yang paling Langit nantikan sejak sang ayah memberinya tiket masuk. Ia sangat menunggu-nunggu hari ini tiba, menyaksikan langsung pertandingan yang tersaji apik, membuat semangatnya kian membara.

“Pak! SMA Bimantara itu sekolah yang mahal itu bukan, sih?” tanya Langit yang saat itu baru saja menginjak SMP.

Langit menunjuk sebuah rombongan yang baru saja masuk ke lapangan indoor tersebut.

“Iya.” Sang ayah mengangguk mengiyakan. Dia duduk di antara kedua putranya. “Bapak rencana mau masukkin kamu ke sana. Ya, walaupun sekolahnya masih baru dibuka, tapi prestasi yang ditorehkan murid-muridnya selalu membanggakan.”

“Mahal, Pak. Kita jual ginjal aja belum tentu aku sekolahnya sampai lulus,” seloroh Langit mengatakan yang sejujurnya.

Sependek pengetahuannya, sekolah di sana amat sangat mahal. Mana sanggup keluarga mereka yang pas-pasan menyekolahkan anaknya di sana?

Mau ngepet pun, babinya pasti kebingungan mencari uang sebanyak itu dalam sekejap.

“Iya juga ya.”

Pria dewasa yang terlihat masih remaja saking tampannya itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Perkataan putra sulungnya ada benarnya. Satu ginjal tidak akan cukup untuk 3 tahun bersekolah.

“Nah, kaaaan.”

“Ada beasiswa.”

Seorang anak SD di sebelah kiri pria itu menyeletuk dengan santai di tengah keributan para pendukung yang menyerukan yel-yel. Seluruh perhatian langsung tertuju padanya yang hanya berekspresi datar tanpa beban.

“1 sampai 2 orang di setiap angkatan ada yang bersekolah di sana menggunakan beasiswa yang disediakan di sekolah itu. Mereka mengratiskan biaya pendidikan bagi yang pantas mendapatkannya.”

“Atau dengan kata lain, hanya yang beruntung dan yang dipromosikan saja yang bisa bersekolah di sana meski nggak ada biaya,” lanjutnya menjelaskan.

“Wah, Al! Kamu hebat banget!” Langit terpukau dengan mulut terbuka, menatap adiknya yang luar biasa jenius.

Al tidak merespon apapun, hanya tersenyum tipis yang nyaris tidak terlihat. Bahkan saat ayahnya turut memuji seperti kakaknya, Al tetap bersikap biasa-biasa saja.

“Kamu anak Pak Tirta atau anak Albert Einsten sih? Kok pintar banget?”

Pria dengan nama Tirta itu mengacak pelan rambut anak bungsunya hingga bibir mungil itu meloloskan decakan.

“Kalau gitu, aku akan berusaha dengan semaksimal yang aku bisa. Kekuatanku harus sekuat huluk, harus segesit flash, dan berkharisma seperti thor. Siapa tau kalau dari Bimantara ada tim pencari bakat, aku bisa ikut kepilih deh.”

“Itu artinya kamu harus masuk turnamen Nasional dulu, baru bisa dilirik sama mereka.” Tirta mengelus kepala Langit dengan sayang sambil tersenyum manis. “Latihannya diperbanyak, jangan malas.”

“Mana ada?” Langit menyangkal cepat. “Aku cuma lagi hemat daya, bukan malas.”

“Iya-iya, Bapak tahu.”

Blue SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang