24. PENGUMPAN YANG JENIUS

702 67 2
                                    

24. PENGUMPAN YANG JENIUS

***

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, seharusnya sekarang Langit sudah membantu Pakdhe menutup warung lalu berjalan pulang bersama. Kaynara tidak bisa membantu karena gadis itu punya banyak tugas dari sekolah.

Namun, di saat Langit ingin menjauhi kelima sahabatnya untuk sementara waktu karena ada hal yang harus dirahasiakannya, Langit malah dikejutkan dengan kedatangan mereka.

Langit tidak mau menjelaskan kepada mereka, kecuali dipaksa dengan sesuatu yang menggiurkan. Anggap saja Langit haus kekayaan, lagipula mana ada manusia yang menolak diberi uang secara gratis?

"Kita mau ngomong sama lo, Lang."

"Nggak bisa, Ren, gue sibuk."

"Kata lo, waktu adalah uang kan? Kalau gitu kita minta waktu lo sebentar aja. Satu jam satu juta, mau?"

"Jangankan satu jam, ngobrol sampe subuh juga gue lakuin."

Langit akan menerima ajakan mereka untuk mengobrol, tapi ia tidak mau mengajak mereka berlima pulang ke rumahnya. Sehingga berakhirlah mereka di dalam warung Pakdhe yang sudah tutup.

Mereka berenam duduk saling berhadapan di sebuah kursi kayu panjang yang mana sebuah meja menjadi pembatas di antara keduanya.

Tugas akhir Langit untuk membantu Pakdhe memasukkan gerobak serta membawa pulang beberapa barang dibantu oleh masing-masing sopir Galen, Jendral, Kafka, dan Ren. Sedangkan Sastra membawa mobilnya sendiri tanpa sopir.

Mereka menjadi tega melakukan hal merepotkan itu agar Langit mau berbicara dengan mereka tanpa halangan lagi.

"Pilih rubik atau catur?" tanya Galen memberikan dua pilihan.

Laki-laki berhoodie putih tersebut mengeluarkan dua rubik berbentuk kubus dan sebuah papan catur.

Menyebalkan. Pilihan yang diberikan pada Langit sama seperti ketika disuruh memilih hendak masuk tim voli Amerika atau voli Perancis.

Butuh waktu untuk memikirkannya, saat ia belum pernah mencoba keduanya.

"Siapa dulu lawan yang bakal berhadapan sama gue?" Langit balik bertanya menatap kelima temannya.

Sedangkan mereka saling berpandangan seolah sedang berpikir untuk memilih siapa yang pantas menjadi perwakilan agar mereka memenangkan permainan kali ini.

"Ren, dooong. Renan Ardiansyah kan, jagoan kita," ungkap Galen percaya diri.

Demi apapun, ini sungguh tidak adil. Langit? Disuruh berhadapan dengan laki-laki yang memakai sweater cokelat muda itu?

Sudah pasti Langit akan kalah telak, terlepas apapun permainan yang akan dipilihnya nanti.

Ren itu pemenang olimpiade nasional dan internasional, anak tunggal dari dua orang dokter spesialis dan ayahnya juga seorang presdir. Ren mendapatkan peringkat dua paralel dengan nilai sempurna kecuali di olahraga dan kesenian. Bagaimana cara Langit mengalahkan manusia jenius satu ini?

Tidak, tidak. Ia hanya gumpalan upil di depan laki-laki itu.

"Nggak!" Langit menolak dengan tegas. Ia memyilangkan kedua tangannya sekaligus membuang muka acuh.

"Terus mau lo gimana sekarang? Kita grebek rumah lo gitu?" Jendral kesal sendiri. Langit tidak mau buka mulut tentang apa yang terjadi akhir-akhir ini.

Mereka saling peduli karena mereka adalah sahabat. Apalagi ini menyangkut soal uang.

Mereka hanya berjaga-jaga sebelum terdengar berita ada murid SMA terlibat jual-beli organ. Atau tiba-tiba menemukan temannya itu menjadi seorang waria yang melambai di lampu merah.

Blue SkyWhere stories live. Discover now