1.4 KKN, is begin?

3.1K 331 155
                                    


Hari dimulainya KKN tiba, para mahasiswa yang akan melaksanakan tugas kampusnya itu banyak yang sudah berdatangan ke kampus untuk melakukan upacara pelepasan KKN oleh pihak universitas. Namun tidak semua anggota kelompok, hanya perwakilan saja.

tintt

Bunyi klakson mobil terdengar di luar pagar rumah milik keluarga Dhisti. Dia dijemput Haidar yang membawa mobil.

Kelompok 110 yang membawa mobil hanya Haidar, karena barang bawaanya cukup banyak dan rumahnya paling jauh jadi dia memutuskan membawa mobilnya saja.

Dan kebetulan rumahnya dan rumah Dhisti tidak terlalu jauh, dia menawarkan tumpangan kepada gadis itu yang disambut dengan baik. Karena awalnya dia juga akan meminta tolong kakak perempuannya untuk mengantarnya.

"Adek, kae lho kancamu wes teka. Kebiasaan dandan lama." ucap wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik yang disinyalir adalah ibu Dhisti. Beliau membuka pagar rumahnya dan mempersilahkan Haidar masuk untuk menunggu Dhisti.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Temennya Dhisti to mas?"

"Nggih, Dhistine wonten?"

"Ada, koyoke isih dandan, kebiasaan bocah kae, ndek bengi wes tak kandani gak usah begadang, soale gugahane angel pol. Ayo mlebu disik. (Ada, kayaknya masih dandan, kebiasaan itu bocah, tadi malam udah tak kasih tau enggak usah begadang, soalnya banguninya susah pol. Ayo masuk dulu.)" ucap ibu Dhisti seraya menuntun Haidar untuk duduk di kursi yang ada di teras.

Haidar tersenyum, dia agak bingung perempuan yang menyambutnya ini ibu atau kakak Dhisti. Karena Dhisti pernah bilang dia mempunyai kakak perempuan. Tapi kalo ibunya kok keliatan muda banget.

"Cah bagus, ngomong-ngomong namanya siapa?" Ibu Dhisti kalau ngomong memang campur-campur kaya gado-gado. Kadang bahasa jawa, bahasa Indonesia, bahkan kadang bahasa Kalbu.

Astaga Haidar sampai lupa "Nama saya Haidar, kebetulan saya satu kelompok sama Dhisti dan rumah saya deket dari sini, jadi saya sekalian ngajak Dhisti bareng."

"Oalah, Mas Haidar. Aku ibune Dhisti, Amira. Iya Dhisti wingi uwes cerito yen kancane arek ngajak bareng mangkat KKN, tak pikir si Caca Caca kae, ternyata kowe to. Yo syukur satu kelompok karo Dhisti, Dhisti nduwe konco barengan soko ngomah. Ibu titip Dhisti yo mas. Asline anake sregep tenan yen lagi ora males. Terus kadang crewet, maklum keturunan ibune, tapi tenang wonge iku kendel banget, ibu ngasi kalah. Deweke yen petuk setan ora wedi, wedine petuk begal." Amira menjelaskan sifat Dhisti. Si Dhisti kupingnya pasti gatel karena dighibahin ibunya sendiri.

Oalah ibunya Dhisti ternyata, hampir saja Haidar mengira bahwa Amira itu kakaknya Dhisti. Haidar tersenyum mendengar cerita Amira, "Njih bu, Insyaallah."

Tak lama orang yang jadi bahan obrolan menampakkan batang hidungnya. Haidar melihatnya agak aneh, Dhisti hanya memakai kaos hitam oversize, celana Jeans dan sepatu putih bermerek Adinda. Almameternya hanya di sampirkan di tangan. Dhisti juga tampak tidak dandan, namun sepertinya dia habis keramas karena rambutnya masih setengah basah.

"Eh Dar udah lama?" basa-basinya, padahal tadi dia juga mendengar klakson dari Haidar.

"Wes kaet ndek mau, kowe ki kesuwen jane ngopo? Mung gincunan karo wedakan wae setahun. (Udah dari tadi, kamu ini lama banget ngapain? Cuma pake gincu sama bedakan aja setahun)" omel Amira, heran anak bungsunya itu kadang lelet banget.

"Iya tadi Dhisti kan abis keramas, ngeringin rambut dulu."

"Lha kui jeh teles kebes ngono. Opo seng mbuk garingne? Mesakne Mas Haidar ngenteni kowe, wes dikasih tumpangan ijeh ngenteni meneh. (Lha itu masih basah kuyup gitu. Apa yang kamu keringin? Kasian Mas Haidar nungguin kamu, udah dikasih tumpangan masih harus nungguin)."

KKN 110Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang