2.2 Hari Sendu

1.9K 248 129
                                    

Tw // death

Sorry for typo.

***

Pagi ini kelompok 110 dikejutkan dengan adanya pengumuman di mushola bahwasanya ada salah satu warga masyarakat Sukadana yang meninggal dunia. 

Pengumuman tepatnya diumumkan pada pukul 5 pagi setelah sholat subuh. Anggota 110 yang biasanya memutuskan tidur kembali memilih untuk terjaga. 

Dan pada pukul 6 nya pak Banu selaku marbot mushola dekat posko mereka mengajak para lelaki anggota 110 untuk membantu bersih-bersih, meminjam kursi dan membantu memasang tenda untuk di rumah duka. 

Katanya almarhum itu aslinya warga desa sana tapi semenjak menikah memilih tinggal di Jakarta bersama keluarganya. Dan sebelum akhir hayatnya, almarhum berpesan jika dia meninggal ingin dimakamkan di kampung halaman. Jadi sekarang posisinya jenazah sedang on the way dibawa dari Jakarta menuju Sukadana. 

"Kasian ya anaknya, mana masih kecil-kecil banget." sendu Kirana.

Tadi saat bertanya pak Banu katanya yang meninggal itu seorang ayah yang mempunyai dua anak yang masih kecil, yang paling besar berusia 8 tahun, dan yang paling kecil 5 tahun.

"Iya, enggak kebayang sesedih apa mereka, apalagi istrinya. Kehilangan banget pastinya." imbuh Naura. 

Menurutnya kehilangan sosok yang disayangi apalagi itu akan menjadi kehilangan terbesar buat orang yang ditinggalkan. Apalagi ditinggalnya dengan tiba-tiba. 

"Berasa dejavu." ucap Lita yang membuat teman-temannya menoleh padanya.

Yeshika mengernyitkan dahinya, "Maksudnya?" 

Lita berusaha tersenyum "Iya berasa dejavu waktu gue, adik gue, sama nyokap kehilangan bokap gue buat selama-lamanya."

"Maaf Lit, maksudnya ayah kamu udah enggak ada?" tanya Naura hati-hati.

Lita hanya mengangguk sebagai balasan sehingga membuat yang lainnya terkejut, bahkan Yeshika sendiri tidak mengetahui fakta itu.

"Udah lama sih sebenernya ayah gue meninggalnya, udah dari gue kelas 8 sih dan jujur sebenernya gue enggak terlalu deket banget sama bokap karena dulu beliau kerjanya sering keluar kota," ucap Lita menjelaskan. 

Tiba-tiba ada suara isakan yang membuat mereka disana mengarahkan pandangannya pada si pemilik sumber suara itu. 

"Loh, Gau kenapa nangis?" tanya Dhisti panik saat orang yang disebelahnya itu sudah mengeluarkan suara isakan itu.

"Lita kenapa sih kita banyak kesamaan, even di hal kaya gini." ucap Gauri di sela isakannya.

"Maksud lo?" tanya Lita clueless.

"Papa gue juga udah enggak ada. Huwaaaa" Gauri semakin terisak. Dhisti yang ada disebelahnya segera memeluk rekannya itu.

"Sumpah?" 

"Kalian inget enggak waktu hari selasa kemarin gue izin pulang bilang ada acara keluarga? Sebenernya itu acara satu tahun meninggalnya bokap gue." lanjut Gauri.

Yang disana semakin terkejut oleh penuturan Gauri. Kenapa dia tidak jujur saja bahwasanya hari itu tepat setahun kepergian ayahnya? Kalau tahu lebih awal pasti mereka juga akan mendoakan.

"Berati bokap lu meninggal waktu covid, Gau?" tanya Dhisti.

"Iya, dan bokap gue meninggalnya juga gara-gara covid sialan itu." jawab Gauri kembali terisak.

"Kenapa enggak bilang jujur aja waktu itu, Gau?" tanya Kirana sembari mengelus pundak Gauri.

"Gue pikir itu enggak penting buat kalian."

KKN 110Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang