3

74 28 10
                                    

Regina merasa frustasi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Regina merasa frustasi. Surat tagihan pembayaran pendidikan adiknya Sue, tagihan listrik air dan tagihan uang apartemen yang menunggak menggunung di depan pintu kamarnya. Tetangga yang melintas lewat di depan pintu kamarnya hanya bisa menatap dan bergosip.

Butuh dua belas nomer billing lagi agar Regina bisa mengakses e-mail universitas, layanan surel yang diberikan pada setiap orang tua dan wali itu menjadi satu-satunya akses yang dia punya agar bisa terhubung langsung dengan Sue. Namun, karena tagihan pembayaran pendidikan, ia jadi tak bisa mengirim pesan pada adiknya di asrama.

Sorry, the email failed to send. Please complete payment bills by November 30 - Admin Faculty of Psychology, Maddow University.

Kepala yang tegak di depan layar komputer itu pun tertunduk lemas. Bagaimana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Pekerjaan freelance yang dia tekuni selama ini tidak banyak membantu keuangannya sehari-hari.

Regina pergi ke Delvaware. Menemui Devina yang sedang menunggunya di bar hotel mewah.

"Nyonya Devina?" Perempuan bersanggul yang sedang memainkan gelasnya itu tersentak menoleh ke samping

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Nyonya Devina?" Perempuan bersanggul yang sedang memainkan gelasnya itu tersentak menoleh ke samping. "Aku Regina. Teman Stefani yang tadi siang membuat janji temu denganmu."

"Duduklah!" Regina mengangguk. Dia duduk di kursi kosong yang berhadapan dengan Devina. "Jadi, kau yang direkomendasikan oleh Stefani?" menatap penampilan sederhana Regina dari atas sampai bawah. Kaos putih, skinny jeans, sepatu sneakers, tas selempang dan rambut yang disanggul. Benar-benar gaya anak pinggiran kota. "Kelihatannya kau harus berbenah," mencodongkan arah gelas minumnya ke baju yang dipakai Regina.

Sepasang mata Regina langsung menatap kaos putih sederhananya. "Maaf, Nyonya. Tadi, aku buru-buru. Jadi, tak sempat memakai pakaian terbaikku."

"Bukannya aku mau menghakimi penampilanmu, Re. Tapi berpakaian seperti itu," mengambil bolpoin di tasnya dan memutarnya searah jarum jam dihadapan Regina. "Sangat tidak cocok dipakai di bar hotel mewah bintang lima."

Perempuan muda yang sedang gugup itu langsung mengedarkan pandangannya ke selasar ruangan. Banyak dari para tamu-tamu yang duduk berkunjung di Delvaware memakai pakaian mewah dan berkelas. Laki-laki yang memakai setelan jas rapi, sedangkan wanitanya memakai gaun panjang selutut tanpa lengan yang membalut tubuh seksinya. Nampak sangat berkelas saat perhiasan berlian, kalung mutiara dan beberapa perhiasan permata kristal putih lainnya menempel di kulit perempuan yang cerah dan bersinar. Sungguh malu rasanya saat Regina mengembalikan pandangannya ke arah dirinya sendiri.

"Sekarang, kau sudah mengerti 'kan?" celetuk Devina. Selembar kertas disodorkan ke hadapan Regina. "Tanda tangan disini dan aku akan menjelaskan detail-detailnya padamu."

Bercampur rasa gugup yang menyebar di dalam dirinya, Regina menarik selembar kertas yang tak jauh dari hadapannya itu. Perempuan yang akrab disapa Re ini membaca lekat-lekat surat perjanjian kontrak kerja antara Devina dan dirinya. Sesaat, kontrak kerja yang dia baca itu biasa pada umumnya. Nama, identitas dan dengan siapa dia akan bekerja. Namun, saat Regina hendak membubuhkan tanda tangannya, ada paragraf terakhir di dalam isi kontrak perjanjian itu yang mencurigakan. Tertulis jelas disana kalau kontrak kerja yang dia ambil ini berjangka waktu lima tahun, tentu dengan syarat dan kententuan bahwa Regina harus menjadi pendamping yang baik untuk klien Devina, berbakti sebagai pendamping yang sah dan melahirkan pewaris untuk klien Devina. Jika selama masa bekerja, Regina melanggar kontrak maka dia dengan sadar harus mengembalikan semua materi yang merugikan klien.

"Ini apa, Nyonya Devina?" tanya Regina menatap wajah santai Devina. "Kenapa aku harus memberikan seorang keturunan pada klienmu? Tak cukupkah hanya menjadi wanita dari pria kaya saja?"

Segelas alkohol yang disesapnya diletakkan di meja. Lalu, dia membenarkan kalung mutiaranya sambil bicara. "Klienku adalah orang - orang ternama, Regina. Mereka punya uang, kekuasaan dan kekuatan. Kalau mereka meminta syarat yang aneh-aneh, bukan masalah besar bagiku, asalkan syaratnya masih bisa dikerjakan, kenapa tidak."

"Tapi, ini tidak seperti kehidupan yang Stefani ceritakan padaku, Nyonya," protes Regina.

"Kau bisa meninggalkan bar ini. Aku akan menawarkan kontrak kerja ini pada orang lain."

Saat Devina hendak mengambil kontrak dihadapannya, Regina menghentikannya. "Tunggu! Tunggu sebentar, Nyonya!" Devina mengalihkan tangannya dari kontrak. Dia pun mengambil bolpoin dan meletakkannya di atas kertas. "Aku akan menandatanganinya." Tanpa pikir panjang, dia pun menorehkan tanda tangannya di atas surat perjanjian.

"Bagus, Regina," merampas selembar kertas dari hadapan Regina. Devina meneliti kembali sisi-sisi surat yang barusan dihadapkan pada perempuan dihadapannya. Takutnya ada noda wine dan itu bakal merusak reputasinya yang suka akan kebersihan. "Kau akan bertemu dengannya besok pagi di Estafania. Nanti, kita akan pergi bersama. Dimana aku bisa menjemputmu?"

"Hermington apartemen," sebut Regina.

"Oh, ya. Aku tau tempat itu. Aku akan kesana lebih pagi." Devina nampak bersemangat sekali. Bahkan dia meminta pelayan bar untuk memesan segelas alkohol lagi untuk Regina. "Tapi sebelum itu, kau harus belanja pakaian. Aku tidak ingin menemuimu dengan pakaian biasa begitu. Apa kau bisa mengerti?" Regina mengangguk.

Semalam suntuk, George tak bisa tidur. Lelaki bertubuh maskulin atletis ini sedang berbaring di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang mulus dan bernafas se normal mungkin saat kipas AC menggelitiki dada bidang yang dipamerkannya secara terbuka. Pertanyaan-pertanyaan konyol mulai datang silih berganti dalam benaknya, mulai dari bagaimana penampilan perempuan itu, reaksi Dalton, reaksi teman-temannya sampai reaksi ayah dan semua pelayan yang ada di rumah Michael. Mereka semua pasti akan kaget melihat aksi nekadnya, terutama ayahnya Alderik yang mungkin akan murka melihat bagaimana liciknya dia mencari perempuan untuk mendapatkan harta warisan kakeknya.

Gila kau, George?! Kenapa malam - malam begini masih bisa berpikir hal yang tak perlu. Perempuan itu pasti baik. Seribu kali lipat lebih baik dari mantan dan perempuan semalammu. Lebih baik kau pergi ke klub dan bersenang - senang disana. Untuk apa berbaring tidur seperti pengangguran begini? Berangkat dan bersenang - senanglah! Mulai besok, kau tidak akan bisa pergi sendiri lagi.

George merapikan jaket kulinya. Memandang dengan seksama apakah kalung platinanya cocok dengan balutan serba hitam andalannya atau memakai jam tangan hitam yang baru dia beli dari toko bulan lalu.

Turun dengan penampilan liar dan bebas dengan jaket hitam kulit andalannya, Alderik berpapasan dengan putranya. Ayah yang sangat keras pada anaknya ini melihat penampilan putranya dari atas sampai bawah. Rambut rapi disisir ke belakang, kaos hitam, jaket kulit hitam, jeans hitam dan sepatu hitam, juga yang terbaru dari penampilannya adalah jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Alderik menyeringai. Ia tak berkomentar apapun, melainkan acuh berjalan melewati George sambil menyesap secangkir kopinya hingga masuk ke dalam kamar.

***

Settle Take A BreatherWhere stories live. Discover now