5. Sebelum Berangkat Ke Bandara

27 4 0
                                    


Pagi hari sebelum jam belajar mengajar dilaksanakan, Mark lebih dahulu mengunjungi rumah wali kelas Mali. Kebetulan sekali rumah sang wali kelas tak jauh dari sekolah.

Selain ingin meminta izin perihal absen Mali, dia juga ingin memastikan bagaimana Mali selama ini.

Niat Mark ke rumah wali kelas Mali tanpa diketahui siapapun. Bahkan Mali yang selalu penasaran, dan curiga bila pertanyaan tak terjawab kali ini pun tak mencurigai sang ayah.

Mark turun dari mobil sport-nya, beruntung Mali telah diantarkan orang tuanya sehingga dia langsung kemari.

Mark menekan bel yang berada di pinggir dinding pagar, sembari tangan satunya membawa bingkisan sederhana.

Memang wali kelas putranya tak meminta, tapi bukankah tak enak hati dan kurang sopan bila bertamu hanya jiwa raga saja?

"Permisi."

Mark menekan cukup satu kali tombol bel, karena pendengarannya mendengar suara langkah kaki tergesa-gesa dari dalam.

Wanita berusia 35 tersebut mengernyit kening dari kejauhan. Mark tersenyum hangat. Wali kelas putranya pasti merasa antara asing dan tak asing. Ditambah yang mengantar jemput Mali tak pernah dirinya.

"Salam kenal, Miss Celine. Perkenalkan saya adalah..."

"Kau... Kau... Kau Lee Mark. Ah, maksudku Mark Lee NCT dan SuperM yang kini solo bukan?"

Beberapa detik Mark dibuat menganga terkejut. Dia kira hanya terkenal dikalangan remaja, ternyata ada juga ibu-ibu yang menjadi penggemarnya.

Mark tersenyum hangat lalu menganggukkan kepala. Wali kelas Mali seketika dengan hati berbunga-bunga, dan secepat kilat membuka pintu gerbang.

"Si--silakan duduk, Pa--Pak Mark."

Mark kembali tersenyum hangat, sembari meletakkan buah tangan darinya ke meja ruang tamu.

"Aduh repot-repot, Pak."

"Tidak kok, Miss. Kebetulan saya melewati rumah, Miss."

"Ah begitu, Pak."

Mark menganggukkan kepala membenarkan. Padahal realita dia memang mengkhususkan diri untuk kemari.

"Begini Miss, saya hendak menanyakan beberapa hal bolehkah?"

Wali kelas Mali seketika menganggukkan kepala penuh semangat. Dalam hati dia berkata 'Ya kali tidak boleh. Bukankah berbicara dengan artis papan atas adalah hal langka?'

"Silakan Pak silakan," kata sang wali kelas dengan sangat girang.

Andai saja saat ini tengah tak mode serius, maka Mark akan tertawa dengan suara khasnya. Dirinya gemas dengan kegugupan dan kegirangan wali kelas putranya.

"Miss, bagaimana Mali selama di sekolah?"

"Le--Lee Mali?"

"Tentu saja karena putraku hanya dia tak ada yang lain, Miss."

Tak ada ledakan bom tapi ntah mengapa tiba-tiba suasana hening. Wali kelas Mali bingung merangkai kalimat untuk diutarakan.

"Miss?" tegur Mark.

"Ah, iya. Mali anak yang baik, pintar, dan ceria, Pak. Apakah anda melihat putra anda secara langsung?"

Mark menatap jam dan wali kelas putranya secara bergantian. Dia sangat ingin, tapi apakah tak masalah? Bagaimana bila Mali langsung menghampirinya? Bagaimana bila ada orang tua murid yang iri? Bagaimana bila kondisi jadi tidak kondusif?

"Apabila Pak Mark sibuk bisa kita lakukan besok-besok, Pak."

"Apakah tak masalah, Miss?"

"Pak Mark takut kondisi tak kondusif?"

Mark menggaruk tengkuk kepala, lalu tersenyum kecil. "Kebetulan saya juga harus penerbangan tanpa Mali ketahui, Miss."

Ini memang bukanlah haknya ikut campur ataupun penasaran. Tetapi melihat teman-teman Mali yang diantar orang tua lengkap, acara pun dihadiri kedua orang tuanya ataupun salah satu. Membuat hatinya teriris.

"Maaf ini hanyalah sekadar saran, Pak. Tetapi jarak rumah saya dengan sekolah tak sampai 15 menit, jadi apabila anda tak terburu-buru lebih baik menyimak putra anda sekilas."

Mark bimbang, dia penasaran aktivitas Mali di sekolah. Waktunya yang sedikit, membuatnya tak pernah mendengar cerita sang putra.

"Baik. Mari, Miss."

Mark sebatas memantau dari balik dinding depan kelas Mali. Mark tak berani menampakkan diri, takut-takut justru terkejut berujung dirinya keceplosan.

Mark tak berhenti menatap hangat dan sendu putranya. Seperti perkataan Johnny dan orang tuanya, Mali telah beranjak kian besar.

Acara doa bersama setelah baris di depan kelas telah selesai. Mali menoleh ke kanan kiri memastikan keadaan.

Ntah mengapa dia merasa kali ini terasa berbeda. Seperti ada yang mengawasi tapi tak mungkin.

Selain orang tua atau wali murid maka tak diizinkan masuk. Lantas mengapa Mali merasa ada sepasang netra, dan tiba-tiba penciumannya menghirup aroma parfume sang ayah.

Padahal bila dipikir-pikir hal tersebut sangat mustahil. Mengingat sang papa saja sangat langka menyisihkan waktu,

"Nak, mengapa kau melamun?" tanya sang wali kelas dengan lembut dan menyamakan tinggi.

Mali masih asyik mengamati, memastikan suara hati. "Miss, apakah nanti ada acara?"

Sang wali kelas mengernyit bingung, "Acara? Tidak ada, Sayang."

"Benarkah?"

Sang wali kelas mengusap lembut pipi tomat Mali, "Tentu saja. Memang mengapa?" Mali menggelengkan kepala. Pasti ini hanyalah perasaan Mali saja.

Mali telah menyusul teman-temannya memasuki kelas. Wali kelas Mali menghampiri tempat persembunyian Mark.

"Apakah tadi Mali menanyakan?"

Wali kelas Mali menganggukkan kepala membenarkan, "Benar, Pak."

"Terima kasih atas kesempatannya," ucap Mark dengan tulus.

Wali kelas Mali tersenyum dan menganggukkan kepala. Dalam hati mengumpat karena baru teringat tak meminta foto bersama serta tanda tangan.

Mark telah tiba di bandara walau terlambat 15 menit. Sang manager tak henti-henti mengomel karena panik dan khawatir, tetapi seketika terdiam kala mengetahui alasan Mark.

My Daddy Is Superhero Idol (SLOW UPDATE)Where stories live. Discover now