40. Bahagia

68.2K 4.8K 127
                                    

Silau. Satu kata yang menggambarkan perasaan Camellia saat ini, satu tangan kirinya terangkat untuk menutupi terik matahari yang mengenai wajahnya. Tidurnya tidak nyaman sebab terik matahari itu semakin lama semakin terasa panas saja yang menerpa wajahnya, ia mengerang sedikit karena perasaan tidak nyaman itu. Matanya masih terpejam sebab susah sekali untuk bangun, tubuhnya terasa sangat lemah bahkan hanya untuk mengeluarkan suara saja rasanya sangat berat.

Sedetik, dua detik. Camellia mencoba untuk melepas tangannya yang berusaha menutupi diri dari terpaan cahaya matahari. Kemudian ia dibuat mengerutkan kening bahkan setelah ia tidak mencoba menghalau sinar matahari pun, sudah tidak terasa lagi silauan cahaya yang menjadi pengganggu di tidurnya. Padahal beberapa saat lalu cahaya itu begitu mengganggu, bahkan menangkal dengan tangan saja tidak cukup, tetapi mengapa sekarang cahaya silau itu tidak terasa?

Merasa bingung, akhirnya Camellia memilih untuk membuka mata. Ugh, rasanya berat. Tiba-tiba bias warna masuk ke iris matanya yang telah lama tertutup membuatnya harus mengerjab-erjab terlebih dahulu untuk menyesuaikan penglihatannya.

Terasa buram dan samar, tetapi Camellia belum dapat percaya. Siluet sebuah benda berada tepat di atas wajahnya, entah apa itu Camellia tidak tahu. Yang jelas, ia dapat memastikan bahwa benda itulah yang menjadi penghalau sinar matahari agar tidak mengenainya.

Camellia semakin memusatkan perhatiannya dan setelah merasa nyaman, kepalanya ia tolehkan ke samping dan mendapati sesosok pria tampan yang sedang duduk di sebelah kasurnya dengan tangan yang sedang menghalau pantulan sinar matahari.

Pria itu menatapnya pula namun dengan tatapan datar, Camellia juga balas menatap tepat di kedua iris hijau emeraldnya Aarazka. Entah mengapa..perasaan bersalah langsung bersarang di hatinya saat ini. Camellia mencoba mengingat kembali perbuatannya, tentang dirinya yang telah berani menampar Aarazka.

Camellia mencoba sekuat tenaga untuk mengangkat tangan kanannya kemudian mulai menyentuh pipi sebelah kanan Aarazka dengan sangat pelan.

Aarazka tertegun, dibuat mematung atas tindakan Camellia yang menurutnya agak mengejutkan. Walau begitu, ia tidak menepis tangan tersebut. Membiarkan Camellia bermain dengan sesuka hatinya, bahkan jika ia dilukai sekalipun Aarazka tidak akan melarangnya. Asalkan yang melakukannya adalah Camellia, bukan orang lain.

Camellia mengusap bekas tamparannya kemarin dan berkata dengan suara penuh rasa bersalah, "maaf." Katanya dengan sangat pelan juga dengan suara yang serak.

Aarazka dengan sigap segera mengambil air minum yang terletak di sebelah kirinya di atas nakas, kemudian menyerahkannya pada Camellia. "Minum dulu." Katanya.

Camellia menatap teh pemberian Aarazka, hatinya semakin dibuat penuh penyesalan. Bisa-bisanya ia menuduh pria sebaik Aarazka? Ia ternyata terlalu bodoh dengan mempercayai Helga yang jelas-jelas bukanlah Helga yang sesungguhnya. Ia lebih mempercayai transformasi protagonis itu dibanding Aarazka yang notabenenya telah ia lihat bagaimana sikap dan perlakuannya terhadap Camellia selama ini.

Ia tidak bisa berpikiran jernih sebab fakta mengejutkan yang langsung ia terima dalam beberapa detik, alhasil ia terhasut dan berakhir dengan menuduh Aarazka akan hal yang tidak pernah pria itu lakukan.

Tidak mendapat respon, Aarazka bertindak sendiri dengan membantu Camellia untuk bersandar di sisi ranjang. Menumpuk beberapa bantal dan memegang tengkuk leher Camellia agar dapat bersandar dengan nyaman. Kemudian setelah memastikan bahwa gadis itu telah duduk, maka ia memberikan gelas berisi air minum itu pada Camellia dan segera diterima gadis tersebut dengan perlahan.

I Became An Empress [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang