4 - Bunuh Diri

22 11 0
                                    

"Dia terlihat sangat putus asa."- Rafin

Juni 2017

_________________

Sudah sebulan aku tinggal di Jakarta. Selama itu juga sudah berusaha menjadi anak laki-laki. Aku masih belum terbiasa, alhasil aku sering menahan diri untuk bicara. Di sekolah banyak yang tak menyukaiku karena ada cupu dan penampilanku berantakan. Aku paling takut berurusan dengan murid laki-laki di sekolah, karena aku pernah melihat ada murid yang dipukuli karena tidak memberikan uang setoran. Aku dikenal miskin, jadi mereka hanya memalak PRku saja. Aku berusaha terus menjaga jarak agar mereka tidak kontak fisik denganku karena bisa saja rahasiaku terbongkar.

Hari ini aku pulang terlalu sore karena harus mengerjakan PR teman-temanku lebih dulu. Melihat matahari mulai turun terbenam dan menampakan siluet oranye, mampu menarik semua peluhku saat ini. Dalam perjalanan menuju rumah tanteku, aku memilih lewat Jembatan Lasik. Aku ingin lihat pantulan langit sore yang di air sungainya. Mungkin aku masih sempat duduk-duduk sebentar di pinggiran sungai sambil melempar batu ke air.

Terlihat dari jauh ada seorang gadis sedang berdiri memegang railing jembatan menghadap matahari terbenam. Kulihat dia sedang memejamkan mata sembari menarik napas panjang. Aku mengira dia punya hobi yang sama denganku melihat langit senja dipinggiran sungai. Namun aku makin curiga ketika kakinya perlahan dia naikkan ke railing. Gadis yang menggunakan dress putih itu seakan-akan hendak lompat ke sungai.

"Apa yang sedang kamu lakukan?! Itu sangat berbahaya." Aku memeluknya dari belakang untuk mencegah tubuhnya jatuh ke sungai. Saat ini sekeliling sedang sepi jarang orang berlalu lalang. Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia malah mulai terisak. Aku tidak memahami situasi saat ini.

Aku membantunya berdiri, lalu mencoba menenangkannya. Kubiarkan di menangis agar merasa lebih tenang sesudahnya. Aku penasaran apa yang membuatnya berniat bunuh diri seperti yang kulihat tadi. Namun dia masih belum bisa diajak bicara.

Aku mengajaknya duduk di pinggiran sungai, yang mana tadi adalah tujuan awalku kesini. Aku membiarkannya menenangkan diri, lantas aku bermain lempar batu ke air. Aku pun mencoba menawarkannya untuk bermain bersama. Dia mulai tertarik dan meraih batu yang kupilihkan. Kuajari caranya dan dia melakukan percobaan pertama. Ajaib, kini dia bisa tersenyum.

Gadis ini bernama Sayu. Rupanya dia tahu bahwa dokter mendiagnosis dirinya tak bisa sembuh dari kanker paru-paru. Dia lebih memilih bunuh diri daripada mehanan sakit lebih lama. Di tambah lagi orang-orang di sekitarnya saling salah-menyalahkan karena tak mampu menjaga Sayu dengan baik. Sayu bercerita sahabat-sahabatnya mulai tak akur.

Dia memiliki empat sahabat yang selalu menjaganya. Namun saat Sayu didiagnosis kanker setahun lalu, sahabat-sahabatnya mulai overprotektif terhadapnya. Mereka berempat pun sering bertengkar ketika Sayu kambuh dan harus dilarikan ke rumah sakit. Hubungan mereka pun kian retak. Mereka tidak bisa berkumpul bersama lagi seperti dulu. Mereka akan menemui Sayu secara bergantian. Sahabat-sahabat Sayu pun terlalu fokus untuk menjaga agar dirinya tidak sakit, alhasil mereka jarang menanyakan perasaannya dan apa yang sedang ia inginkan.

"Aku tidak mau menjadi beban mereka." Katanya mulai terisak lagi.

"Tapi, apa kamu tega pergi begitu aja tanpa berpamitan? Itu akan melukai mereka lebih dalam." Ucapku.

Aku mencoba menyemangatinya, mengajukan diri untuk menjadi temannya. Sayu bisa kesini kapanpun untuk bertemu denganku untuk bercerita atau sekedar menemani harinya yang berat.

"Kamu mau menjadi temanku?" Tanyanya lagi untuk memastikan.

"Tentu saja. Mulai sekarang, aku adalah sahabatmu. Oh iya, namaku Rafin." Kataku. Aku menggosok tanganku untuk membersihkannya, lalu mengajaknya bersalaman. Dia jadi tertawa dengan tingkah konyolku. Aku tadi hanya reflek saja karena Sayu terlihat seperti anak orang kaya. Dia sangat cantik, bajunya pun bagus. Aku merasa kurang pantas mengajaknya bersalaman dengan tanganku yang kotor ini.

Hari mulai gelap. Aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Aku memintannya menunggu sebentar. Aku ingin pinjam sepedanya Bang Panji, pemilik toko kelontong dekat rumah tante. Karena buru-buru, aku berlari secepat kilat agar Sayu tidak kelamaan menunggu. Bang Panji bilang jangan lama-lama pinjam sepedanya.

Aku mengantar Sayu ke rumahnya. Selama perjalanan, Sayu sesekali bersenandung. Suaranya merdu sekali, walaupun suaranya kecil aku masih bisa mendengarnya dengan jelas. Namun alunannya terdengar sedih. Sayu memberitahuku bahwa rumahnya sudah dekat. Dua persimpangan lagi kita akan sampai. 

Kini kita tiba di perumahan mewah. Sayu menepuk pundakku tanda kita telah sampai.

Dia menunjukkan rumahnya. Benar saja dugaanku, Sayu dari kalangan berada. Rumahnya besar sekali. Pagar rumahnya saja tinggi menjulang. Sayu menawariku untuk masuk ke dalam. Aku reflek menolak. Aku merasa insecure duluan. Lalu tiba-tiba seseorang keluar dari pagar. Seorang satpam terkejut melihat kami. Seketika dia memberitahu orang di dalam rumah bahwa Sayu sudah pulang. Pasti semua orang mencarinya.

"Mas Revel, Non Sayu pulang!" Satpam itu berteriak memberitahu orang yang ada di dalam rumah. Karena keburu takut dituduh yang tidak-tidak, aku langsung pamit pulang.

"Aku pergi dulu ya." Kataku langsung memutar sepeda.

"Besok kita ketemu lagi disana ya." Katanya antusias. Aku pun hanya mengangguk. Buru-buru aku melesat meninggalkan rumah Sayu, dengan penampilan sepertiku yang berantakan ini pasti dikira orang nakal yang menculik Sayu.

Hari ini aku mempunyai teman. Mungkin dialah yang akan menjadi satu-satunya temanku di Jakarta. Sayu anak yang baik. Dia tidak memilih-milih teman. Bahkan murid-murid perempuan di sekolah ogah dekat-dekat denganku.

Aku juga akan bertekad membantu Sayu agar dia bisa menikmati hidupnya sesingkat apapun itu, karena kehidupannya adalah sebuah anugerah pemberian Tuhan yang tak boleh disia-siakan. Mungkin jika kita sudah makin dekat, dialah satu-satunya orang di Jakarta yang akan mengetahui identitas asliku. Aku berencana membuka rahasiaku pada Sayu bahwa aku adalah seorang gadis.

Sampai di rumah, Tante Lona sudah berkacak pinggang. Aku ketahuan belum membersihkan kamar untuk pelanggan. Aku pun kena sambit sabuk andalannya untuk menghukumku. Namun aneh, aku tidak merasakan sakit. Aku cukup bahagia hari ini karena akhirnya aku punya teman di Jakarta. Cacian tante juga tak terlalu terdengar oleh telingaku karena kini dalam pikiranku terus muncul janjiku bertemu dengan Sayu besok.

"Dasar anak gila! Sana masuk, terus cuci baju sama piring-piring di dapur." Setelah puas memukuliku, aku diperbolehkan masuk dan buru-buru melaksanakan tugas darinya agar dia tidak menghukumku lagi.

Beres mengerjakan pekerjaan rumah, aku lekas masuk ke kamar agar tak bertemu pelanggan-pelanggan tante. Setelah shalat magrib dan isya, aku melanjutkan aktifitas belajar dan hendak mengerjakan sisa PR yang belum selesai milik preman-preman sekolah. Disela-sela belajar, pikiranku terpecah karena memikirkan Sayu.

"Kira-kira dia sedang apa ya sekarang ?" Gumamku

Tiba-tiba aku terpikir ingin membuat permainan atau candaan agar dia bisa terhibur saat kita bertemu besok. Akhirnya kuputuskan untuk mencatat beberapa humor yang akan kuceritakan pada Sayu biar dia senang. Aku ingin membuat hidupnya yang singkat itu penuh dengan kebahagiaan, aku tidak mau dia stres saat menjalani perjuangannya untuk sembuh. 

***

TBC

Halo readers!

Jangan lupa kasih feedback ya biar aku makin semangat. Makasih banyak udah mampir ^^

Yuk saling terkoneksi di sosmed

IG : frizz.house

Tiktok : frizz.house_

Twitter : frizah14

email : triafarizah@gmail.com

MAKE A WISH [Ongoing]Where stories live. Discover now