22. Bertengkar

1K 161 30
                                    

Menjemput sadar, Xabina heran saat interior putih dan aroma khas obat-obatan menyerbu seluruh indera. Tirai dengan warna senada kelilingi ranjang yang hadir sebagai media peristirahatan tubuh. Peka akan pegal dari tangan yang terhubung pada selang infus, pria manis itu akhirnya berhasil pahami kondisi.

"Ugh.. pusing.."

"Oh, Tuhan! Syukurlah, akhirnya kamu sadar."

Lemas, Xabina menoleh perlahan ke arah samping dan beradu tatap dengan seorang wanita cantik dalam balutan blazer merah. "Tante siapa? Bina dimana? Tante.. Tante yang tolong Bina?" Melihat perubahan ekspresi dari lawan bicaranya, Xabina buru-buru mengoreksi ucapan. "Eh, m-maksud Bina.. itu.. Kakak, iya.. Kakak, bukan Tante.."

Wanita yang diajak bicara pun terkekeh kecil. "Mau Tante atau Kakak, saya gak masalah kok. Nama kamu Bina?" Melihat upaya Xabina untuk duduk, bantuan pun ia berikan dengan penuh kehati-hatian.

"Terima kasih, Kakak Cantik." Merekah senyum Xabina hingga menyipit kedua mata. "Ini Bina, 'Xabina' kalau Kakak Cantik kepo-kepo sama kepanjangannya. Kalau Kakak Cantik, namanya siapa? Kakak Cantik kenapa bisa ada di kampus Bina? Kakak Cantik mahasiswi? angkatan berapa? Bina mahasiswa baru, jadi belum kenal-kenal semua orang yang banyak sekali."

Belum sempat jawaban atas pertanyaan itu diucap, tirai yang semula tertutup rapat seketika terbuka dengan kasar. Dalam hitungan detik saja, seorang pria yang lebih dewasa dari Xabina memunculkan hadir dengan nafas terengah dan wajah memerah. Lengkap sudah ciri-ciri sikapnya untuk mewakili beragam emosi yang sukar untuk ditafsirkan.

"ADEK!!! SAYANG!!!"

Direngkuh cemas, Xabina pun refleks menggenggam erat tangan wanita di sebelahnya yang langsung peka akan situasi terkini. "Mohon maaf, anda ini yang tadi bicara dengan saya lewat handphone Xabina, kan?"

Menoleh, Barat terkejut saat beradu tatap dengan seseorang yang baru saja bicara padanya. 1 detik, 2 detik, 3 detik. Bahkan setelah detik ke-10 terlewat pun, Barat masih mematung tanpa sepatah kata yang berhasil lolos dari ujaran. Tentu, sikap janggalnya itu masuk ke dalam radar Xabina yang seketika jengkel tanpa alasan.

"Mas, itu Kakak Cantik ngajak bicara. Bukannya dijawab malah dipelototin. Awas matanya loncat-loncat, susah loh kalau mau ditempel lagi! Adek bakal say no no no untuk bantuin Mas."

Mendengar ocehan pria cantiknya, Barat menghela nafas panjang. "Iya, saya yang tadi bicara dengan anda." Konfirmasi itu membawa wanita yang semula berdiri di samping Xabina pun melangkah maju dan ulurkan tangan ke hadapannya.

"Saya Bianca, dosen baru di Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Pandji Mukti. Kita mungkin belum pernah bertemu di kampus atau ruang dosen, tapi saya terbilang cukup sering mendengar cerita tentang anda, Pak Barat." Sadar bahwa uluran tangannya diabaikan, Bianca pun berdehem untuk hilangkan rasa malu.

"Kakak Cantik dosen baru? kenapa Bina belum pernah lihat Kakak Cantik di kelas? Oh, berarti bukan 'Kakak' Cantik, tapi 'Ibu' Cantik ya harusnya? maaf ya Ibu Cantik, Bina no salah-salah lagi, Bina jangan dihukum, ya? Bina udah bosen dihukum sama DOSEN GALAK." Sengaja Xabina menekan akhir dari ucapannya untuk menyindir Barat secara ugal-ugalan.

"Panggil senyaman kamu aja, Bina. Saya belum ngajar ke banyak kelas. Mungkin nanti, setelah ada rotasi untuk mengganti pensiunan dosen lain, baru deh saya bisa mengampu satu atau dua mata kuliah yang kamu ambil." Kembali fokus pada Barat, Bianca sadar bagaimana pria itu masih termenung saat menatap ke arahnya. "Kalau saya boleh tahu, kalian berdua ini.. ada hubungan apa, ya? Panggilan 'Mas' dan 'Adek' bukan hal yang lumrah untuk digunakan oleh dosen dan mahasiswa ajarnya. Tadi juga, saat panggilan dari Pak Barat masuk ke handphone Xabina, nama kontak anda itu 'Mas Barat' pakai simbol hati warna merah di belakangnya."

XABINAWhere stories live. Discover now