BAB 23 : Kelabu

22.3K 1.2K 172
                                    

“Aku juga minta maaf. Melupakanmu sungguh bukan keinginanku.” —Arsenio Arisva Zavlendra

****

Dari tempatnya, netra hitam Arsen memandang lurus Nazeera yang terbaring di depannya. Mereka sudah cukup lama terjebak di sini. Di dalam lift. Dari petang sampai kini sudah malam. Tak ada yang Nazeera lakukan sejak Arsen menyuruhnya diam. Dia menutup mulutnya rapat-rapat sejak perintah itu diutarakan. Gadis itu pada akhirnya tertidur—di lantai—dengan tangan sebagai alas.

Entah dorongan dari siapa, Arsen beringsut maju. Diangkatnya kepala Nazeera lembut lalu ditaruh di atas pangkuannya. Sama sekali Nazeera tak terganggu. Tidurnya bahkan tidak terusik, melainkan semakin terlihat nyaman. Arsen tersadar—sejujurnya sejak lama, alih-alih terusik dan terganggu karena Nazeera cerewet dan banyak bicara, dia malah merasakan sebaliknya. Sama sekali tidak marah, Arsen menyukainya. Tidak tau kapan pastinya, cerewetnya Nazeera menjadi candu baginya. Bagi Arsen. Lelaki itu merasa ada yang kurang jika sehari saja tidak mendengar Nazeera berceloteh.

Arsen menyandarkan kepalanya ke dinding lift. Dia sendiri sudah kelelahan. Dua kancing teratas kemejanya terbuka dengan dasi dan jas yang tergeletak di lantai begitu saja. Hm ... sebentar. Arsen baru saja mengambil jas navy-nya. Bukan untuk dikenakan, melainkan dilampir pada tubuh Nazeera—menyelimuti gadis itu.

Tadi, Arsen sudah mengirim pesan kepada Lenia. Hanya saja tidak terkirim. Arsen biarkan saja. Harap-harap sinyal memunculkan diri walau sebentar agar pesannya kepada Lenia tersampaikan. Pesan bahwa dirinya terjebak di dalam lift.

Arsen menurunkan pandangan, kembali menatap Nazeera. Jarinya terangkat, terulur begitu saja menyampirkan helai rambut yang menutupi wajah gadis itu. Otak Arsen berputar. Perempuan ini ... siapa? Arsen merasa tidak asing. Semacam tau, tapi lupa. Semacam kenal, tapi tidak mengingatnya.

"Great girl," gumam Arsen rendah—memuji Nazeera. Segaris kurva tipis tercipta di bilah bibirnya. "Gadis hebat."

Entah karena apa. Hebat dalam artian apa. Terlalu abu-abu untuk Arsen sendiri mengetahui. Tidak paham. Tidak mengerti. Rasa ini ... aneh. Dahi Arsen mengkerut samar. Dia sendiri sebagai pemilik tubuh tidak tau perasaan apa yang kini tengah mendekapnya. Jari lelaki itu kemudian terangkat. Arsen mengusap sudut matanya yang sedikit berair.

"Kuat-kuat, ya, Nazeera. Jangan sakit ...." Lelaki itu melanjutkan gumamannya, tanpa sadar bahwa jiwa yang terkubur jauh dalam dirinya menaruh rindu begitu dahsyat kepada perempuan ini, gadis yang tengah tidur di atas pahanya. Nazeera Zievanna Alegreya—tunangannya.

****

Sunyi. Begitu keadaan ruangan yang ditempatinya saat ini. Di sebuah sofa tunggal dia duduk. Satu kaki ditumpu di atas kaki lain, menguarkan kesan wibawa tersendiri baginya. Dia juga kharismatik. Terlebih saat segaris senyum terukir tipis di bibir, memancarkan daya pikat yang tak bisa ditolak oleh siapa pun yang melihat. Gelas berisi wine di tangan dia putar seirama, menyoroti kedatangan perempuan yang baru saja tiba.

Suasana yang tadinya sunyi kini mulai tertera suara. Lelaki berkemeja hitam itu mendengar dengan seksama saat perempuan yang duduk di hadapannya itu menjelaskan sesuatu. Sesuatu yang dia maukan sejak lama dan kini sudah di depan mata.

"Harus ada sesuatu yang ditanam. Kalau nggak—" Perempuan itu mengedikkan bahu. "—persentase berhasilnya akan kecil," ujarnya menjelaskan.

Tidak ada sahutan. Lelaki itu manggut-manggut saja seolah paham bahwa tembok yang hendak dia tembus memang sekokoh itu. Seolah sebelum perempuan ini menjelaskan, dia sudah paham, sudah mengetahui hal ini—dengan rencana yang tentunya sudah disiapkan.

"Ya, ya. I know Babe. And ... everything is ready," ujar lelaki itu. Dia menuangkan wine ke dalam gelas. Diberikannya kepada si perempuan yang di mana langsung diterima. "Jadi, apa selama ini ada masalah?"

GREAT GIRLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang