Hafizah dan Pramutama Bar: 1

392 44 80
                                    

"Boleh saya duduk di sini?"

Sang pramutama bar terkejut melihat perempuan yang mau duduk di hadapannya. Perempuan ini berkerudung panjang warna merah muda serta memakai kardigan biru terang dengan kaus magenta di dalamnya dan rok panjang jins biru, yang merupakan keanehan jika dia mau masuk dan duduk di sebuah bar.

"Oh, boleh." Namun, sang pramutama memperbolehkan perempuan itu, "Tapi, mungkin kamu harus pesan minuman. Apakah kamu mau minum?"

Perempuan tersebut duduk terlebih dahulu di kursi, di meja dekat pramutama itu. "Saya mau lemon squash. Less ice, ya."

Sang pramutama menelengkan kepalanya. "Aku hanya bercanda. Kamu tidak usah pesan minuman."

"Benarkah? Padahal saya suka lemon squash."

Sang pramutama menghela napas. Dia punya selera minuman yang tinggi ternyata. "Memangnya, kamu tidak apa-apa minum sesuatu dari gelas yang dipakai untuk minuman beralkohol?" Sang pramutama bertanya.

"Minuman beralkohol bukan barang najis sebenarnya selama saya tidak meminumnya. Yang haram belum tentu najis, tapi yang najis sudah pasti haram," kata perempuan itu. "Saya tidak bakal kenapa-kenapa."

Sang pramutama hanya mengedikkan bahu. "Oke, tapi aku tidak membuatkanmu lemon squash. Apa yang membuatmu datang kemari?" Sang pramutama tidak menyembunyikan rasa penasarannya terhadap perempuan itu.

"Saya mencari tempat sepi. Saya mau muraja'ah—mengulang hafalan—karena saya ada tes untuk hafiz dan hafizah. Bar ini sedang sepi, bukan?" Perempuan itu mengeluarkan Al-Qur'an ukuran sedang dari dalam tas selempang yang dibawanya. "Saya tertarik untuk mencobanya di sini."

"Mengapa harus tempat ini? Bar ini?"

"Karena bar ini tepat di sebelah restoran yang biasa saya kunjungi. Kebetulan, saya pernah melihat Anda melempar dan memutar-mutar sesuatu dari situ," perempuan itu menunjuk meja restoran yang terdekat dari pintu bar. Restoran dan bar ini saling terhubung dengan pintu lorong akses yang ditunjuk perempuan itu. "Itu hebat. Anda bisa melakukannya berulang kali tanpa terjatuh."

"Aku hanya iseng berlatih atraksi dengan shaker minuman," kata pramutama sambil tersenyum. Sang pramutama agak malu karena rupanya ada seseorang yang melihatnya berlatih. "Itu supaya aku bisa menghibur peminum di sini. Aku berlatih setiap saat bar sedang sepi."

"Oh, begitu."

"Kamu sering ke situ? Ke restoran keluarga itu?"

"Ya. Restoran steak itu punya menu-menu enak seperti tenderloin steak, cordon bleu, salmon fillet slice, dan dory fish fillet. Itu kesukaan saya."

Sang pramutama menyimak perkataan si perempuan lalu dapat menyimpulkan bahwa hafizah ini berasal dari keluarga berada dalam kategori ekonomi menengah ke atas. "Bar ini ramainya waktu sore ke malam hari," kata sang pramutama. "Baguslah kalau kamu datangnya siang-siang begini."

Perempuan itu mengangguk-angguk. Sang pramutama mengambil kursi terdekat untuknya dan duduk di sisi lain meja konter bar. Sang pramutama melihat pintu bar dan berharap-harap cemas kalau ada orang lain yang masuk bar lalu menemukan perempuan hafizah itu. Perempuan itu cukup lama mengamati Al-Qur'an lalu berkomat-kamit mengulang bacaannya. Begitulah yang dilakukan perempuan hafizah itu selama beberapa menit sehingga keadaan menjadi hening.

"Nama Anda siapa?" tanya perempuan itu sekonyong-konyong yang mengejutkan sang pramutama.

"Oh, namaku Luther," jawab sang pramutama. "Itu nama asli."

"Oh, Mas Luther," kata perempuan itu. "Nama saya Luthfiana. Hampir mirip nama Mas Luther."

Hafizah bernama Luthfiana itu menyimpan Al-Qur'annya ke dalam tasnya kembali, sesi muraja'ah-nya sudah usai. Ia bertanya lagi, "Mas Luther sudah lama kerja jadi bartender?"

Hafizah dan Pramutama BarWhere stories live. Discover now