Hafizah dan Pramutama Bar: 10

74 16 0
                                    

Luther pulang dari Eropa setelah mendapatkan pelatihan selama tiga tahun. Luther pulang ke Maluku dengan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta terlebih dahulu, baru dilanjutkan ke Bandara Pattimura. Keluarga Luther menyambut Luther yang baru sampai di Ambon, Maluku dengan sukaria. Selepas pulang dari Eropa dan sampai di Ambon, Luther memutuskan untuk mendapatkan pekerjaan di Ambon karena ingin dekat dengan keluarganya. Jadi, Luther bekerja menjadi sommelier di sebuah restoran hotel mewah di pusat kota Ambon.

Waktu sedang bekerja di restoran, tanpa sadar, Luther bertemu dan melayani seorang adik tingkatnya di kuliah. Adik tingkatnya itu sedang makan di restoran bersama ayah, ibu, dan kakak dari adik tingkatnya. Adik tingkatnya mengenali Luther yang sedang menyajikan anggur untuk keluarganya.

"Kak Luther!" Adik tingkatnya memanggil.

"Ya?" Luther menelengkan kepala dan berhenti menuang minuman.

"Ini aku, Sania! Sania Martha Theodora. Aku mahasiswi setahun di bawah Kakak, di kampus yang sama."

"Kita pernah bertemu?"

"Aku tahu Kak Luther karena Kak Luther dulu pernah ikut kursus menjadi barista. Aku juga pernah ikut kursusnya," kata Sania saat Luther masih di mejanya setelah menuang minuman anggur.

"Oh ya? Mengapa aku tidak terlalu mengingatmu? Aku ingat tipis-tipis. Apa jurusan kuliahmu?"

"Aku jurusan Perencanaan Wilayah Kota, beda jurusan dengan Kakak. Tapi, aku ingat Kakak. Kakak peserta kursus yang mahir dulu."

"Begitu, ya? Lalu, kalau di kampus?"

"Jarang melihat Kakak," Sania berkata sambil menggeleng. "Tapi, wajah Kakak sangat mudah diingat. Jadi, kalau Kakak sedang berjalan-jalan di kampus, aku langsung tahu itu Kakak. Gedung fakultas kita bersebelahan."

"Hmmm. Oke, aku akan kembali bekerja dulu," kata Luther. Namun, sebelum benar-benar beranjak pergi, Luther berkata kepada Sania, "Wa-waktu kerjaku selesai pukul 5 sore. Kalau kamu mau, kamu bisa datangi aku kapan saja ke sini setelah pukul 5 sore."

Ayah, ibu, dan kakak Sania terkikik pelan melihat Sania yang ditawari pertemuan dengan Luther dan Luther yang tampak kikuk. Sania menganga dan mengangkat sebelah alis. Namun, Sania merasa tertarik dengan tawaran Luther.

"Oh, boleh saja," tanggap Sania. "Aku akan mencari waktu kosong."

Luther membungkuk lalu berbalik untuk meninggalkan meja keluarga Sania. Luther kembali ke dapur sambil membawa botol anggurnya. Luther melakukan itu karena ia tidak mau baik dirinya maupun Sania harus mengorbankan perasaan dan waktu karena penemuan yang terlambat dicari. Sebelum semuanya terlambat. Luther sudah belajar dari pengalaman.

***

Setelah menjalin hubungan selama satu tahun, Luther dan Sania memutuskan untuk menikah. Tamu-tamu pernikahan yang datang adalah keluarga dan kerabat Luther dan Sania serta beberapa orang teman yang berada di Maluku dan sekitarnya. Luther sebenarnya sudah mengundang teman-teman pramutamanya yang di Jakarta, tetapi hanya dua orang yang bisa datang, mereka adalah dua pramutama yang dulunya baru direkrut di bar tempat Luther bekerja dulu sebelum Luther pergi ke Eropa. (Yono sedang di Gorontalo, Bobby sudah tidak bekerja di bar dan sedang menyelesaikan S-2, dan Pak Adam menyambut cucunya yang baru lahir.) Meskipun pesta pernikahan mereka sederhana dan ada beberapa orang teman mereka yang sedang berhalangan hadir, Luther dan Sania merasa bahagia.

***

Di suatu malam, Luther dan Sania duduk-duduk bersama di atas kasur. Mereka bercengkerama pada waktu sebelum tidur. Mereka mengobrolkan beberapa hal, seperti apa yang Sania lakukan seharian, apa yang terjadi saat Luther bekerja menjadi sommelier, curahan-curahan hati lainnya, dan lain-lain.

Ketika waktunya tepat, Luther akhirnya berkata, "Sania, aku ingin membuat kafe dan bar. Di Jakarta."

"Kamu mau ke Jakarta? Kembali ke sana?" tanya Sania langsung menanggapi.

"Iya. Sejauh ini, selama aku bekerja di Jakarta, aku mendapat pemasukan yang cukup besar, baik dari feedback maupun keuangan."

"Kamu tahu akan membuat kafe dan bar di mana? Apa konsepnya?"

Luther mengangguk. "Aku tahu di mana. Aku pernah dikontak oleh salah satu teman pramutama bar di Jakarta yang juga melakukan bisnis properti. Dia mau menyewakan gedung pertokoan untukku, terserah mau dibuat apa, kalau aku kembali ke Jakarta, dengan diskon. Aku memikirkan tawarannya, mungkin aku bisa membuat kafe dan bar di situ."

"Mengapa dia menawarimu?"

"Karena aku baru dari Eropa, mendapatkan sertifikasi bartender internasional. Dia memikirkan kalau aku mau membuka bisnis di Jakarta. Just in case."

"Kamu mau? Kafe dan bar? Bagaimana?"

"Aku mau membuat kafe dan bar yang keduanya aku pimpin. Kafenya yang bisa menyajikan banyak minuman yang bisa dikonsumsi semua orang, jadi harus halal. Untuk barnya, tidak, barnya hanya minuman beralkohol. Kafe dan bar dibedakan, tetapi aku mengurus keduanya."

"Wah, apakah itu sulit?"

"Aku pernah menjadi pramutama di bar dekat penginapan Valencia dan di kapal pesiar, akhirnya sukses. Aku yakin aku mampu mengurus dua-duanya. Kafenya kita buka sedari pagi, barnya baru kita buka di sore hari."

"Oooh. Aku sepertinya mendapatkan gambaran. Apa saja minuman di kafenya? Dan di barnya?"

Luther menjelaskan minuman-minuman yang akan ada di kafe dan yang akan ada di bar. Sania mendengarkan Luther. Selagi Luther menjelaskan, Sania mengambil buku catatan di dekatnya lalu mencatat apa yang Luther jelaskan.

"Di kafe, kita membuat minuman jus, teh, dan kopi. Di bar, kita menyajikan beragam minuman keras dan koktail," ujar Sania sembari menulis.

"Ya, benar begitu."

"Oke. Beberapa jenis jus, teh, dan kopinya sudah terbayang. Ada minuman lainnya? Seperti smoothies, float, atau squash?"

Kedua alis Luther terangkat. "Smoothies bisa masuk minuman jus, tapi, ya, bisa kita bedakan. Untuk float dan squash, yah, kita bisa masukkan minuman bersoda. Sebenarnya, soda juga dibutuhkan untuk membuat koktail."

"Minuman bersoda. Oke, sudah kucatat."

"Kamu terorganisasi sekali," ungkap Luther kepada Sania.

"Setelah aku ikut himpunan mahasiswa, aku jadi suka menulis tangan, padahal dulunya tidak."

Luther mengangguk. "Saat ini, baru itu semua yang kupikirkan. Mungkin besok, ada ide lain muncul."

"Aku bisa bantu mencari ide," kata Sania lalu meletakkan buku catatannya kembali di atas meja bufet. Sania memeluk lengan Luther. "Aku mau ikut ke mana pun kamu pergi, Kak Luther."

Luther tersenyum dan mengusap kepala Sania. Dia tahu kalau dia bisa melalui kehidupan di hadapannya bersama Sania.

Hafizah dan Pramutama BarWhere stories live. Discover now