Autumn Color

43 9 24
                                    

Panas di kedua telapak tangan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Panas di kedua telapak tangan. Lama-lama menjadi pedih, tetapi melilit di perutnya lebih terasa. Entah berapa lama waktu berlalu sejak terakhir kali dia menelan makanan. Air di ember sudah tak bisa diraup lagi.

Dingin. Lapar. Haus. Pedih. Lelah.

Tungkai-tungkainya mulai kehilangan kekuatan. Sebentar lagi tenaganya pasti habis dan dia akan berhenti bergerak. Sebelum itu terjadi, dia harus terus memanggil dan memohon.

Tak boleh berteriak. Tak boleh menangis. Tepuk saja terus papan kayu yang lebar dan tinggi di hadapannya, kelak panggilannya pasti terjawab.

Merah. Merah. Telapak tangan mungilnya membuat jejak. Seperti dedaunan mapel di Musim Gugur. Menyebar dan bertumpuk-tumpuk. Indah.

Seperti ... Kouyou.

Akio terbangun. Napasnya memburu, menghirup udara sejuk dan basah. Aroma yang asing. Matanya bergerak liar ke sekeliling, menilai dan memastikan. Futon dan tatami—tikar jerami tebal yang biasa jadi alas lantai— sengaja didatangkan dan dipasang untuk area tidurnya masih belum cukup untuk mengenyahkan aroma tak dikenal dari tanah asing tempatnya berdiam saat itu.

Masih di kamar tidur. Masih sangat pagi. Masih di salah satu bangunan bagian dari Myrtlegrove Estate.

Dia menghela napas panjang. Mimpi. Sudah sangat lama sejak kali terakhir dia mengalami itu. Mungkin ada setahun atau lebih?

Ketika turun dari panggung kayu berlapis tatami, papan kayu uguisu yang sengaja dipasang menutupi seluruh penjuru lantai kamar, selain panggung alas tataminya, mengeluarkan suara derit panjang dan pendek. Tidak biasanya Akio meninggalkan suara sebanyak itu ketika melangkah.

Seiring dengan derit papan pelapis lantai kamarnya di setiap pijakan, kepalanya berdenyut. Kurang tidur atau lelah, Harold biasanya memberi saran yang manjur bila dia bertanya. Tetapi Akio sedang tidak ingin meminta pendapat dokter itu.

Pagi pun dimulai seperti biasa. Terlepas dari bayangan hitam di bawah mata yang berusaha dienyahkan dengan guyuran air dingin di penghujung Musim Gugur, dia berpakaian dan bersikap seperti biasa. Kalau ada yang berubah, mungkin holder yang diikatkan di pinggang belakang, untuk menyematkan revolver. Pelurunya hanya 6.

Cukupkah?

Atau dia perlu membawa senjata tambahan?

Akio menggelengkan kepala. Master Henry berkali-kali mengingatkan padanya, bahwa dia sudah bukan lagi prajurit. Itu juga sebabnya Akio menyerahkan katana pemberian Shousa–bahasa Jepang: Mayor, kepada Master Henry. Bukti kesetiaan.

Yang masih tersisa padanya, tinggal revolver yang didapatkan ketika sudah menginjak tanah Inggris, atas perintah terakhir Shousa, sebuah pisau lipat, dan sebilah Kyuu-Guntou.

Dia bukan seorang ahli pedang, tetapi pengalaman mengabdi belasan tahun memberinya pelatihan cukup untuk sekadar menebas dengan mulus. Apabila memang terasa perlu, dia bisa mengambilnya kapan saja dari salah satu tempat tersembunyi di Pantry Manor.

THE BUTLER - Mystery of Myrtlegrove EstateWhere stories live. Discover now