Young Master

23 5 7
                                    

Musim Panas, 32 Meiji / 1899 AD

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Musim Panas, 32 Meiji / 1899 AD.
Kediaman Utama, Ruang Pribadi Tuan Muda.

"Kamu bisa membaca?"

Adalah yang diucapkan Wakadanna—Tuan Muda dari keluarga yang memungutnya sebagai ganti sapaan, pada dirinya saat itu yang kecil, kurus, mengenakan kimono pelayan kedodoran.

Angin sejuk membawa aroma daun dan rerumputan, dari jendela lebar di salah satu sisi ruangan. Menyapu sedikit gerah sore itu, sekaligus mendendangkan gemerincing furin—bel angin yang akan berbunyi setiap kali ada embusan angin. 

Hidung pemuda yang masih di usia sekitar awal belasan tahun itu terbenam di balik buku. Apa yang bisa dilihat oleh dua orang yang sedang duduk bersimpuh di tatami hanya sebagian wajah yang tertutup poni gelap dan sampul buku dengan huruf-huruf asing sebagai judulnya. Sikunya bersandar pada meja rendah, mungil, di sebelah kursi tanpa kaki—tempatnya duduk.

Walau bingung sesaat oleh pertanyaan itu, lelaki pelayan yang bertugas menemani anak kurus itu akhirnya membuka suara. "Anu ... Mohon maaf, Wakadanna-sama. Anak ini hanya sempat belajar sedikit waktu baru datang ke kediaman keluarga Anda, jadi– ...."

"Pelayan," potong sang Tuan Muda.

"S-sahaya, Wakadanna-sama?"

"Aku bukan bertanya padamu."

Diucapkan dengan nada lembut tetapi cukup untuk membuat orang yang bertugas mengantarkan anak itu pada sang Tuan Muda, buru-buru menundukkan kepala, hingga dahinya nyaris menyentuh permukaan tatami. "M-m-maafkan kelancangan sahaya, Wakadanna-sama."

Lalu dia buru-buru menepuk-nepuk lengan kurus anak pucat di sebelahnya. "Hei, kau ... jawab pertanyaan Wakadanna-sama!"

"... Saya boleh jawab?" tanya anak itu, walau tubuhnya ikut bersimpuh dan berusaha merunduk tetapi kepalanya mendongak, mata menatap lurus pada sosok anggun dengan kimono indah di hadapannya. Membuat orang yang mengantarkannya makin blingsatan pada kelancangan anak kurus itu.

Namun alih-alih menghardik, Sang Tuan Muda mengangkat wajah dari bukunya, menatap balik pada anak kurus itu.

Hening di antara mereka. Cukup lama untuk membuat pelayan dewasa di sebelah anak kurus itu mengucurkan keringat dingin. Gelisah.

Anak itu bergeming. Tak ada perubahan ekspresi. Bahkan nyaris tak berkedip juga.

Mata jernih sang Tuan Muda menyipit karena seulas senyuman. "Kuizinkan," jawabnya.

"Saya ... baca huruf di lagu Iroha," jawab anak kurus itu, segera setelah mendapat izin.

"Ah ...," gumam Sang Tuan Muda, kembali pada bacaan di tangan. "Maksudmu kau hanya hapal lirik lagunya?" Ada kekecewaan dalam suaranya.

Anak kurus dan pucat itu menggeleng pelan, "Bukan," jawabnya. "Saya baca huruf-huruf lain yang sama. Di tempat lain juga bisa saya baca."

Pelayan yang mengantarnya terbengong pada penjelasan berputar-putar anak itu—yang pada intinya: dia sudah bisa membaca hiragana. Karena lagu Iroha dibuat sedemikian rupa untuk memuat setiap huruf yang ada. Kalau tidak dalam pengawasan sang Tuan Muda, mungkin kepala hitam anak itu sudah dijitaknya keras-keras.

THE BUTLER - Mystery of Myrtlegrove EstateWhere stories live. Discover now