60 - Killed by Your Love

102 20 2
                                    

60 – Killed by Your Love

"Oh, kau sudah bangun?" sambut Selyn hangat ketika Eris akhirnya turun dari kamarnya.

Eris mengangguk, masih tampak waspada.

"Hari ini dokter Bian, dokter yang merawatmu sejak kau koma, akan datang. Setelah bertemu dengannya nanti, kau mungkin akan merasa lebih baik," urai Selyn.

Eris tak menyahut ataupun mengangguk mengiyakan, dan malah sibuk menatap sekelilingnya, mencari sesuatu.

"Dia pergi?" tanya Eris ketika ia kembali menatap Selyn.

Selyn berusaha menjaga ekspresinya sedatar mungkin saat mengangguk. "Dia hanya orang asing, Eris. Tidak ada alasan baginya untuk tetap berada di sini."

Eris mengernyitkan kening, tampak tak setuju. Tapi ia tak mengatakan apa pun.

Selyn mendesah lelah. "Aku akan menyiapkan air hangat untukmu dan mengantarkan sarapan dan obatmu ke kamarmu," katanya seraya berdiri dari sofa.

Eris tak menjawab lagi, tapi ia berbalik dan kembali naik ke kamarnya. Selyn menatap punggung gadis itu dengan muram. Rasanya, kini Eris semakin jauh saja. Haruskah Selyn juga menyerah atasnya, sama seperti yang dilakukan Kai? Selyn memalingkan wajahnya saat merasakan air mata mendesak di pelupuk matanya.

***

Eris bersandar di bawah pohon besar, menatap ke arah rumah, ah, bukan rumah tapi villa, dengan tatapan kosong. Dokter Bian, dokter yang ternyata memang telah merawatnya sejak ia koma karena kecelakaan yang menimpanya sebelas tahun lalu, sudah menjelaskan situasi Eris saat ini. Eris bahkan tak bisa membaca dan menulis dengan baik sejak kecelakaan itu. Tapi meski begitu, Eris mungkin bisa mendapatkan kembali ingatannya.

Menurut dokter Bian, Eris hanya perlu keluar dari persembunyiannya dan menghadapi ketakutannya, kenangan menyakitkan yang ingin dilupakannya. Apa yang terjadi di masa lalunya? Dokter itu juga berkata bahwa mereka tidak bisa langsung memberi tahu Eris segalanya tentang masa lalunya karena khawatir hal seperti ini akan terjadi.

Shock ketika ia mendapatkan potongan ingatannya berdampak cukup parah kini. Ia kembali kehilangan ingatannya, segalanya, karenanya. Satu-satunya cara hanyalah dari Eris sendiri. Seberapa kuat dirinya akan menahan semua rasa sakit dan menghadapi ketakutannya itu, yang akan membuatnya bisa melewati semua ini.

Jika Eris cukup kuat untuk menghadapi semua itu, ia mungkin bisa mendapatkan ingatannya kembali. Tapi jika Eris belum siap, atau tidak siap, hal seperti ini mungkin akan terjadi lagi, dan Eris mungkin bahkan akan kembali dalam keadaan seperti saat ia terbangun dari komanya dulu.

Saat ini, yang ingin Eris ketahui tentang masa lalunya adalah, suara itu. Ya, suara pria itu, satu-satunya hal yang entah bagaimana, masih bisa dikenalinya. Rasa sakit apa yang harus dihadapinya di masa lalu, Eris juga ingin tahu tentang itu. Dan ia tahu, pria itu berbohong padanya. Dia bukan sekedar orang asing di masa lalu Eris. Alasan kebohogannya itu juga, Eris harus tahu.

Tatapan Eris berpindah dari villa ke arah seorang gadis yang berjalan dari arah villa ke tempatnya. Alia. Ia mengambil tempat di samping Eris, lalu mendongak menatap langit.

"Sebentar lagi gelap, dan di luar sini akan semakin dingin," ucapnya. "Sampai berapa lama lagi kau ingin tetap di sini, Eris?"

Eris tak langsung menjawab dan kini ikut mendongak menatap langit. "Bukankah tadi kau bilang, pertemuan pertamaku dengan pria asing itu di sini? Di hutan ini? Dia menemukanku saat aku tak sadarkan diri di tengah hutan. Tapi, kau belum memberitahuku alasan kenapa aku bisa jatuh pingsan di tengah hutan."

Alia memalingkan wajahnya. "Kau bilang kau ingin jalan-jalan. Tapi kau justru pergi ke hutan dan tersesat. Lalu orang itu menemukanmu."

"Apakah dia sering datang ke hutan ini?" tanya Eris. "Aku yang punya villa hanya beberapa meter dari hutan saja masih tersesat di hutan ini. Bagaimana bisa seseorang yang hanya berlibur di tempat ini, bisa mengenal hutan itu dengan begitu baik, dan bahkan menyelamatkanku?"

Wolf and The Beauty (End)Where stories live. Discover now