Chapter 34. I Don't Know Anything

84 7 0
                                    

Beberapa saat kemudian, Reona membuka mata, merasakan sesuatu yang menganjal dibelakang lehernya. Dia terbangun lalu melihat Melidas sedang tertidur disampingnya. Wajahnya terlihat pucat. Dia menempelkan punggung tangannya pada kening pemuda itu yang ternyata sangat panas.

"Sial."

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Reona langsung menggendongnya —ala bridal style— lalu bergegas kembali keistana barat.

Diistana, Razel langsung memeriksa kondisinya. Beberapa menit berlalu, Melidas tak kunjung sadar. Reona mondar-mandir seraya menggigit jari merasa cemas. Para penjaga dibuat heran melihat sang majikan yang biasanya tenang menjadi sangat panik. Mereka sontak penasaran dengan sosok pemuda itu.

"Bagaimana?" tanyanya setelah Razel selesai memeriksa. Pria itu menepuk bahunya pelan.

"Tidak perlu khawatir. Dia hanya perlu beristirahat. Energinya terkuras banyak setelah menenangkanmu. Biarkan dia tidur, itu akan memulihkannya."

Reona mengangguk kecil lalu mengusap wajahnya kasar. Dia menghampiri pemuda itu, mendudukan diri ditepi kasur lalu menciumi tangannya dengan sayang, merasa bersalah atas apa yang terjadi kepadanya. Razel terkekeh kecil melihat wajah khawatirnya yang sangat lucu.

"Jaga priamu dengan baik! Jangan sering mengamuk dan membuatnya kesulitan! Aku pergi dulu," ucapnya sembari berlalu dari hadapannya.

---
Didunia ini, energi sihir —mana—  tidak memiliki sifat khusus sehingga dapat dengan mudah menyesuaikan diri dan melebur bersama jiwa penggunanya. Sebaliknya, aura memiliki beberapa sifat dasar yang tidak jarang bertolak belakang dengan sifat jiwa yang dimiliki si pengguna. Hal itu disebabkan keduanya memiliki kedudukan yang sama. Dalam arti tertentu, sama-sama dominan.

Vertozch yang dianggap sebagai pengguna aura terkuat memiliki energi yang bersifat buas, cenderung melakukan perusakan dan haus darah. Dalam hal ini, apabila penggunanya tidak mampu mengendalikan diri dengan baik. Energi tersebut akan melahap kesadarannya lalu membuatnya kehilangan kendali atas diri sendiri.

Jika hal seperti itu terjadi, tidak ada cara untuk menyadarkan kembali si pengguna selain membiarkannya tenang dengan sendirinya atau memaksanya tenang dengan cara mengalirkan energi lain —yang sifatnya lembut— dalam jumlah besar. Akan tetapi, kedua cara diatas memiliki resiko tersendiri. 

Cara pertama, terlalu beresiko karena dalam kondisi tersebut si pengguna tidak akan mengenali siapapun. Dia akan menganggap semua orang sebagai musuh dan menyerang tanpa pandang bulu. Selain itu, tidak ada yang tau berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai si pengguna kembali sadar. Sementara, membiarkannya dalam kondisi tersebut terlalu lama dapat mengancam nyawa si pengguna itu sendiri.

Cara kedua, tidak banyak orang memilih cara ini karena menenangkan paksa energi aura tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Energi aura yang bersifat buas tidak bisa ditenangkan dengan sesama energi aura meskipun bersifat lembut karena keduanya memiliki kedudukan yang tidak setara. Energi aura yang bersifat buas menduduki puncak —dominan— membawahi sifat energi yang lainnya.

Dalam hal ini, mana adalah satu-satunya yang bisa mengimbangi energi aura yang bersifat buas. Meski demikian, menenangkan paksa energi aura dengan mengalirkan mana dalam jumlah besar tidak serta merta bisa dilakukan begitu saja. Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar prosesnya dapat berjalan dengan lancar. Salah satunya adalah adanya 'penghubung' diantara kedua individu, bisa berarti koneksi perasaan atau ikatan darah. Tanpanya, kedua energi justru akan saling menolak. Hal itu dapat membahayakan pihak kedua karena mana yang telah masuk keinti aura akan kembali sebagai energi beracun yang dapat menyebabkan kematian.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah jumlah mana yang dimiliki oleh pihak kedua. Sejauh ini besar mana yang dikeluarkan tergantung pada seberapa kuat individu pertama. Dalam beberapa kasus, pihak kedua berakhir tewas karena seluruh energinya terserap hingga habis oleh pihak pertama.
---

Beberapa saat kemudian, "Apa yang harus saya lakukan dengan ini, Duchess?" tanya Valmira seraya menenteng kepala Lucanne yang telah dibungkus dengan apik dalam kotak kayu berhiaskan pita berwarna perak.

Reona sontak menggertakan giginya merasa geram. "Kirimkan ke istana kekaisaran! Kita harus mengucapkan selamat kepada penguasa baru istana itu," ucapnya. Valmira mengangguk paham lalu membungkukkan badan dengan sopan setelah itu pergi dari sana.

Keesokan paginya, Melidas terbangun lalu menyadari dirinya tengah berada didalam kereta kuda yang sedang berjalan. Dia melihat kearah luar. Seorang pemuda yang berada dibangku kusir sontak melontarkan pertanyaan.

"Bagaimana kondisi anda, Tuan duke?"

"Lebih baik. Terima kasih sudah bertanya," jawab Melidas dengan singkat sembari melepas sarung tangannya, memeriksa aliran mana didalam tubuhnya yang sudah kembali stabil.

"Maaf atas ketidaksopanannya. Saya Caryle. Duchess menugaskan saya untuk mengawal kepulangan anda kembali ke utara," ucap pemuda itu.

Melidas sempat terdiam selama beberapa saat. "Bagaimana dengan lady? Apa dia tidak akan kembali keselatan?"

Caryle sontak menggigit bibir bawahnya, bingung harus memberi awaban yang seperti apa. "Emm...itu bukan otoritas saya untuk mengetahuinya," ucapnya sembari menarik napasnya dalam lalu membuangnya dengan kasar. Pemuda itu merasa bersalah karena telah membohonginya.

'Ini salah duchess. Bagaimana bisa dia memintaku mengatakan hal-hal kejam kepada pemuda polos sepertinya? Ah...aku tidak peduli lagi. Begini lebih baik.' Batinnya.

"Anu. Tuan duke, anda baik-baik saja? Jika ada yang tidak nyaman, kita bisa berhenti sejenak— "

"Tidak perlu," potong Melidas dengan cepat. Caryle hanya mengangguk kecil lalu memacu kudanya, melanjutkan perjalanan kewilayah utara.

Sepanjang jalan, Melidas tidak banyak bicara. Dia hanya diam memikirkan banyak hal yang baru saja terjadi tanpa bisa dimengerti olehnya. Sang penguasa wilayah utara itu sontak mengusap wajahnya dengan kasar.

"Aku tidak tau apapun tentang lady," gumamnya pelan.

Dikekaisaran, permaisuri sedang uring-uringan setelah menerima bingkisan yang dikirim oleh penguasa wilayah Barat. Sebuah kepala manusia dengan sepucuk surat bertuliskan,

Aku tau apa yang kau lakukan.

Permaisuri semakin dibuat kesal dengan rumor tidak mengenakkan yang mendadak tersebar diseluruh wilayah kekaisaran. 'Vertozch akan menduduki Medeia'. Topik hangat yang diperbincangkan para bangsawan baru-baru ini membuatnya geram.

"Ini adalah seruan perang! Istana barat telah memberontak kepada kekaisaran," ucapnya terang-terangan memusuhi wilayah tersebut.

Permaisuri yang kepalang emosi mengerahkan sejumlah pengikutnya untuk menyerang istana sang tiran tetapi usahanya sia-sia karena tidak ada satupun yang kembali hidup-hidup. Permaisuri tidak menyerah. Egonya yang tinggi membuatnya tidak ragu menggunakan cara licik seperti menyusupkan seseorang untuk menghasut para penduduk wilayah barat agar memberontak bahkan membakar rumah penduduk hanya untuk menebarkan teror tetapi lagi-lagi usahanya harus gagal.

Sementara itu, para bangsawan diwilayah selatan mulai mengendus aksi pemberontakannya. Seluruh keluarga sontak bersatu lalu menentang sang permaisuri.

Soleion Mavaer, kepala keluarga terhormat Mavaer yang merupakan pemimpin para keluarga bangsawan diwilayah itu mendatangi kekaisaran secara langsung hanya untuk memperingatkannya. Namun, sungguh sial baginya. Permaisuri yang telah terbutakan oleh kekuasaan justru berbuat kejam dengan mendesak kaisar menjatuhkan hukuman gantung kepada kakak kandungnya tersebut. Wanita berusia 44 tahun itu semakin menjadi-jadi setelah berhasil memaksanya menandatangani dekret yang membuatnya memiliki kuasa untuk menjatuhkan hukuman kepada orang lain.

THE THRONE RESERVED [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang