Chapter 40. Letter

98 10 2
                                    

Keesokan paginya, dikediaman Palles. Orka mendatangi Marquess Palles diruang kerjanya, meletakan sepucuk surat diatas meja, membuat sang marquess sontak terbelalak melihat stempel yang tertera dibagian depannya.

'Kekaisaran?' Batinnya.

Marquess Palles langsung menghentikan semua pekerjaannya lalu membuka dan membaca isi surat tersebut. Pria berusia 45 tahun itu sontak mengusap wajahnya kasar.

"Beberapa hal memang tidak bisa dihindari," gumamnya lirih.

Disisi lain, Zarcha yang sedang berjalan-jalan disekitar pacuan tanpa sengaja melihat Lady Luise sedang berada dikandang kuda tengah memandikan seekor kuda jantan berwarna hitam. Dengan rambut yang diikat asal-asalan serta lengan gaun yang tergulung sampai siku, wanita berusia 22 tahun itu terlihat seperti sosok yang berbeda dari biasanya.

"Sepertinya dia sangat bahagia," gumamnya seraya mengulum senyum tipis diwajahnya.

Zarcha hanya memperhatikannya dari kejauhan. Sekilas ide jahil terlintas dipikirannya. Dia mendekati Lady Luise secara diam-diam lalu mengejutkannya dari belakang.
"DORRR."
"WHAAAA...."
Lady Luise reflek melemparkan sabun ditangannya. Zarcha sontak tertawa terbahak-bahak.

"Apa yang kau lakukan, dasar bodoh!?" hardik Lady Luise sembari memungut sabunnya yang penuh dengan tanah.

"Aku tidak tau. Jika seorang Lady Luisela Palles yang terkenal dipergaulan atas memiliki hobi yang sangat unik," godanya.

"Memangnya kenapa? Sejak dulu aku memang suka berkuda. Apa masalahmu dengan itu?" Lady Luise berkacak pinggang siap melemparkan gayung ditangannya.

"Sayangnya, aku tidak bisa melakukannya. Jika tidak...aku pasti sudah bermain dengan Pellus sejak lama," cicitnya yang masih dapat terdengar dengan jelas.

"Jangan katakan kau melakukan ini setiap hari."

"Apa pedulimu, huh? Pellus adalah anak kesayangan mama. Benar kan, sayang?" ucap sang lady sembari mengelus kudanya dengan lembut, mengundang gelak tawa pria disebelahnya.

"Kudanya adalah pangeran yang sebenarnya bwahahaha...." Lady Luise langsung menatapnya dengan tajam.

"Aku hanya memberitahumu. Dikeluargaku, semua orang wajib memiliki satu keahlian. Kakakku Charlotte adalah ahli pedang terbaik dikeluarga kami. Dia adalah anak kesayangan ayah. Sedangkan aku, kemampuan bertarungku sangat payah...pedang sama sekali bukanlah keahlianku. Ibu bilang, jika seorang petarung terdesak maka seseorang dengan kemampuan melarikan diri yang hebat akan menjadi penyelamat dan cara terbaik melarikan diri dengan cepat adalah menggunakan kuda. Sejak hari itu aku berlatih berkuda hingga menjadi penunggang kuda terbaik di wilayah selatan," jelas pria itu dengan bangga.

Lady Luise hanya ber'Oh' ria lalu melanjutkan pekerjaannya. Zarcha langsung menghela napas menyadari ucapannya tak digubris sama sekali.
"Baiklah. Aku akan mengajarimu," celetuknya lalu melepaskan tali kuda yang terikat dipintu kandang.

"Apa yang kau lakukan?" teriak Lady Luise.
"Diam dan perhatikan baik-baik!"

Zarcha mengelus kuda milik sang lady. "Nah, anak pintar. Ayo kemari Pellus sayang! Papa akan menemanimu bermain sebentar," ucapnya seraya menuntun kudanya keluar dari kandang menuju sabana hijau yang berada tepat diseberang jalan setapak.

Malam harinya, keluarga Palles sedang menikmati makan malam bersama-sama. "Ayah akan pergi keselatan besok pagi," ucap Marquess Palles ditengah-tengah makannya.

"Mendadak sekali. Apa yang hendak ayah lakukan ditengah situasi yang panas seperti ini?" tanya Lady Luise dengan raut wajah cemas.

"Yang mulia permaisuri mengirimkan undangan. Ayah tidak mungkin melewatkannya, bukan?" jawab sang Marquess.

"Tapi, situasinya— "

"Justru karena itu. Kita tidak bisa menolaknya," potong Marquess Palles dengan cepat.

"Tidak perlu khawatir. Ini adalah wilayah kekuasaan Duchess Vertozch. Kau akan aman selama tidak meninggalkan tempat ini," sambungnya.

"Lalu, bagaimana denganmu?" tanyanya sembari menggerutu membuat sang ayah sontak tertawa kecil.

"Tenang saja. Aku tidak berencana mati ditempat asing seperti itu," jawab Marquess Palles dengan nada santai.

"Lagipula, apa yang telah terjadi mendadak putriku mengkhawatirkanku seperti ini?"

Lady Luise langsung berdecih mendengar ucapan sang ayah. "Jika kau mati...Orka akan membuatku kesulitan," ketusnya.

Zarcha yang sedari tadi hanya diam mendengarkan langsung menyenggol lengan sang lady. "Sebenarnya, Lady Luise sangat menyayangi anda. Dia hanya tidak bisa mengekspresikan perasaannya. Saya harap Marquess tidak merasa tersinggung," ucapnya mewakili yang sontak dibalas tawa renyah oleh lawan bicaranya.

"Baguslah, jika seseorang bisa mengendalikan Luise. Aku lega karena ada yang menyukai bocah nakal ini," ucap sang Marquess membuat keduanya sontak tersipu malu.

Keesokan paginya, Lady Luise tampak masam. "Apakah benar-benar harus pergi?" tanyanya ketika sang ayah memasuki kereta. Marquess Palles terenyuh melihat sang anak yang berkaca-kaca. Dia menangkup pipinya dengan kedua tangannya.

"Ayah hanya pergi keperjamuan bukannya berperang. Untuk apa menangis, hm?" ucapnya lalu memeluk putri semata wayangnya kemudian mencium keningnya sekilas sebelum pergi.

Suara derap langkah kaki menggema dikoridor istana barat. Caryle mendatangi Reona diruang kerjanya. Seperti biasa, dia membungkukkan badan dengan sopan terlebih dahulu.

"Apa yang membuatmu begitu tergesa-gesa?" tanya Reona sembari fokus pada tumpukan dokumen diatas meja.

"Marquess Palles telah meninggalkan kediamannya pagi ini lalu....." Pemuda itu tampak ragu untuk meneruskan ucapannya.

"Lalu apa?" desak Reona.

"Roulene baru saja memberi kabar, Tuan Grand Duke telah menerima tawaran kerjasama dari pangeran Heinry. Sepertinya...dia tidak tahu tentang rencana pemberontakannya. Mereka telah sepakat. Tuan Grand Duke akan mengirim para hybritor dalam serangan untuk menjatuhkan permaisuri," jelas pemuda itu.

"Apa rencana anda, Duchess? Kali ini pangeran kedua bahkan melibatkan orang-orang terdekat anda," tambahnya.

Reona tampak berpikir selama beberapa saat. "Melidas adalah penguasa wilayah utara. Dia tidak akan disebut Grand Duke untuk alasan yang konyol," ucapnya berusaha tetap tenang meski ekspresinya berkata lain. Caryle sontak menghela napas.

'Lihat! Dia yang mengatakannya, dia juga yang merasa kesal.' Batinnya.

THE THRONE RESERVED [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang