08 - Warisan Atas Kedukaan

135 54 86
                                    

Komen sebanyak²nya di chapter ini.

Kesempatan komen datang berkali², sepuasnya deh!💓

_______________

Katanya, warisan dalam bentuk apapun yang di-perebutkan oleh sanak saudara itu adalah harta yang panas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Katanya, warisan dalam bentuk apapun yang di-perebutkan oleh sanak saudara itu adalah harta yang panas. Lantas, kenapa sebagian besar orang egois dan selalu ingin memenangkan-nya sendiri? Tidak ingat'kah siapa pemegang asli kekuasaan itu?

"SIALAN!!! Nggak sopan banget lo bicara sama kaka sendiri!"

Suara seseorang dari sambungan telepon itu meninggi mencapai batas 3 oktaf, deruan napas yang memburu juga terdengar dengan begitu jelas. Kata-kata makian yang sedari tadi keluar dari mulut orang itu tak kunjung usai juga, membuat orang yang mendengarkan-nya mengulur batas kesabaran tanpa berniat menyela terlebih dahulu.

"Firman sialan! AARRGGHH!!!"

"Tujuan saya menelepon kamu itu ada maksud yang baik, tapi kenapa respons kamu tidak baik sama saya. Kalau bukan karena Mba Yani yang menyuruh, saya nggak akan mau repot-repot bicara sama kamu."

"Kalau memang tujuan lo baik-baik, kenapa malah ngungkit soal warisan rumah?!"

"Hahaha, Daniel...Daniel." mendengar jawaban dari saudara-nya itu, Firman hanya tertawa hambar simbari menggelengkan kepala heran.

Tidak capai 'kah pria itu sedari tadi marah-marah? Bahkan Firman yang mendengarnya sendiri saja rasanya lelah. Selalu menghadapi sikap egois sang-kakak yang tanpa mau di senggol sedikit-pun. Firman hanya ingin menyampaikan pesan yang kakak sulung-nya katakan 3 hari lalu. Jika-lau ini bukan menyangkut urusan almarhumah ibu-nya, ia juga tidak sudi untuk menelepon Daniel di saat-saat dirinya sendiri sibuk.

"Saya hanya mau mengingatkan saja, Niel. Lagi pula, itu juga wasiat terakhir yang ibu katakan sama kita semua."

"Jangan macem-macem bicara, rumah ini udah berganti kepemilikan atas nama gue. Jadi, gue nggak akan lepas begitu aja!"

Daniel berbicara seraya di-iringi gelak tawa remeh setelahnya, tawa itu masih dapat Firman dengar dari sambungan telepon. Mengambil napas dalam-dalam, Firman masih bersabar untuk tidak memberikan sarkasme balik kepada Daniel. Tapi semakin lama ia memendam-nya di hati, semakin pula membuat hati pria paruh baya itu dongkol.

"Rumah itu tetap menjadi rumah Bapak sama Ibu dari dulu. Dan itu nggak akan pernah berubah sedikit-pun! Apa kamu nggak kasian sama saudara lain yang berjuang demi perekonomian keluarga-nya? Kalau rumah itu memang jalan satu-satunya dan harus di jual, itu bisa membantu mereka setidaknya sedikit."

Harta peninggalan yang masih tersisa satu-satunya adalah, rumah yang sekarang Daniel tempati bersama istri dan anak-nya. Pesan wasiat yang dulu ibu mereka katakan sebelum tutup usia, sempat Daniel tentang menah-mentah. Ia tidak akan pernah bisa membayangkan apabila rumah itu hilang dari genggaman-nya, dan menjadi milik orang lain setelah melakukan transaksi jual beli.

GENGGAMAN LUKAWhere stories live. Discover now