Awal bulan Juli

73 8 5
                                    

Bulan ini, bulan ke-empat dimana aku harus melaksanakan tugas praktik kerja lapangan, yang sebenarnya tidak se-menyenangkan itu. Tiga bulan sebelumnya sudah ku lalui dengan perasaan biasa-biasa saja, tidak ada yang spesial dan menyenangkan.

Tapi, di bulan Juli ini... kehadiran dia membuat perasaanku menjadi agak menyenangkan.

Dia, si pria berkacamata. Dengan tingkahnya yang sangat tidak bisa ditebak, malah terkesan lucu di mataku.

Kedekatan kita berawal dari sini, mencari nama penduduk yang tidak jelas di tahun berapa akta kelahirannya diarsipkan.

Dengan perasaan malas, aku harus membantu mencari nama tersebut di antara banyaknya buku di lemari.

"Siapa namanya?"

"Ardi Wibowo," jawabnya yang masih berkutat pada buku yang dipegangnya.

"Buku itu, tahun berapa?"

Jelas aku bertanya, lagipula aku tidak tahu harus mulai mencari dari mana, kan?

Dia hanya diam, kemudian menunjukkan tahun yang tertulis pada buku yang ia pegang, tanpa kata. Memangnya semahal apa suaramu itu, huh?

Belum selesai dengan perasaan tersinggung ku, tiba-tiba saja dia memanjat lemari paling atas.

Apa yang harus aku lakukan? Mendoakannya agar terjatuh atau memandanginya heran dengan mata melotot? Ya, kedua opsi tersebut kulakukan secara bersamaan.

"Mas? Sedang apa?" tanyaku benar-benar penasaran.

"Tunggu sebentar." Sepertinya dia mendapatkan sesuatu? Entahlah.

"Coba cari di buku ini," sarannya sembari memberikan buku yang diambilnya dari lemari yang dia panjat tadi.

Aku pun mengangguk dan mulai mencari. Lagipula, apalagi yang bisa ku lakukan selain itu? Tidak mungkin aku menolak, kan? Bisa-bisa nilaiku jadi taruhannya.

"Ketemu!!!" sahutku dengan riang, aku merasa sangat jenius karena bisa menemukan nama itu.

Entah secara sadar atau tidak sadar, aku bertepuk tangan seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah.

Anehnya, ku dengar kekehan ringan keluar dari mulutnya. Ah! Dia, bisa tertawa ternyata?

"Hebat kamu. Makasih, ya?"

Dan anehnya lagi, setelah itu kita hanya saling melempar senyuman dengan perasaan bangga satu sama lain karena berhasil menemukan nama misterius itu bersama-sama.

Tidak salah kan? Karena, kalau saja dia tidak tiba-tiba memanjat lemari itu, mana mungkin aku bisa menemukan nama itu di buku yang ku pegang saat ini?

"Ngomong-ngomong, namamu siapa?" tanyanya tiba-tiba.

"Aku Flory. Lengkapnya, Flory Haninsya Kananta."

Dia mendekatkan kepalanya agar bisa mendengar suaraku dengan jelas sebelum akhirnya menyebutkan nama yang dimilikinya.

"Aku Farlan. Farlan Adnan Mahesra. Makasih udah mau bantu. Aku balik ke depan dulu."

Aku mengangguk pelan, "Iya, silahkan."

Yah, kira-kira seperti itulah awal dari dimana cerita kita dimulai. Entah ini bisa disebut dengan kata "kita" atau hanya dengan kata "aku dan dia".

Hanya saja, apakah awal cerita yang menyenangkan ini akan mendapatkan garis akhir yang sama menyenangkannya?

Atau... awalan ini hanya pemanis belaka yang ditata oleh sang semesta? Semoga, semesta tidak sekejam itu untuk menorehkan garis akhir yang penuh luka.



Glasses ManWhere stories live. Discover now