Brengsek

12 2 0
                                    

"Dek?"

Aku tidak dengar. Aku tidak mau dengar.

"Dek... maafin Mas, ya? Udah seminggu lebih loh kamu diemin Mas, maafin ya?"

Aku masih diam, menyibukkan diri menganggap tidak ada siapapun disini selain diriku.

"Mas udah baikan sama istri Mas, Dek."

Aku hanya meliriknya sekilas. Aku benar-benar sedang tidak berminat untuk berbicara. Seminggu ini mood ku benar-benar hancur gara-gara si keparat berkacamata.

"Mas bawa es krim strawberry kesukaan kamu, loh,"

Masih ku diamkan.

"...es krim strawberry nya siapa yang makan dong kalau kamu nggak mau? Padahal Mas beli banyak," lanjutnya

"Kasih aja ke orang lain!" sahutku ketus.

"Beneran? Enak banget padahal ini, panas-panas makan es krim."

Aku berdecak sebal dan merebut plastik yang berisi tumpukan es krim itu.

"Lah?" ucap Mas Fahri diiringi dengan tawa.

Aku menatapnya tajam. "Hus hus! Sana!"

Mas Fahri tertawa terbahak-bahak. Tangannya dengan bebas menepuk-nepuk puncak kepalaku.

"Nggak usah pegang-pegang!" sahutku dengan sewot.

"Kamu beneran nggak mau sama Mas? Jadi istri kedua."

"Orang gila," cibirku.

Dan lagi-lagi, Mas Fahri tertawa tanpa dosa.

"Bercanda, Dek."

"Bircindi, Dik," cibirku lagi dan lagi yang masih saja dibalas tawa oleh Mas Fahri.

"Gimana kamu sama Farlan? Baik-baik aja, kan? Udah seminggu lebih kamu nggak cerita ke Mas."

Aku memicingkan mataku. "Mas nguping ya waktu itu?!"

"Dikit. Nggak sampai ending ngupingnya, cerita dong," ucap Mas Fahri.

"Udah selesai."

"Apanya?"

"Hubungannya, lah!" jawabku sewot.

"Loh, emangnya pernah mulai?" ucap Mas Fahri mengejek.

"AH! MAS MAH!" rengekku sebal.

"Yaudah sih, sama Seno aja kenapa?"

"Aku maunya yang pakai kacamata!" teriakku.

"Hus! Nggak usah teriak-teriak juga, didengar banyak orang," tegur Mas Fahri.

"Biarin, lagian juga nggak bakal tiba-tiba besok pada pakai kacamata semua."

***

Sial. Kenapa semua orang tiba-tiba menjadi manusia berkacamata? Tidak semua, sih. Tapi kenapa tiba-tiba sekali?

"Bingung, ya? Tiba-tiba pada pakai kacamata semua," ucap Mas Seno yang mensejajarkan langkahnya denganku.

Sepertinya dia juga menuju ke ruang arsip, sama denganku.

Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Mas. Mas Seno nggak sekalian pakai juga?"

"Biar kayak tipe mu, ya?"

"...aku rasa, nggak perlu pakai kacamata buat dapetin hati kamu. Kacamata cuma sebagai patokan sederhana aja, kan?" lanjutnya.

Entah sadar atau tidak, aku menganggukkan kepalaku pelan.

Aku membuka pintu ruangan dan mendudukkan diri, diikuti dengan Mas Seno.

Glasses ManOnde as histórias ganham vida. Descobre agora