Berdebar

7 3 2
                                    

Entah Tuhan mendengar isi hatiku kemarin atau kebetulan saja, tapi disinilah aku bersama pria berkacamata itu.

Hening.

Hanya terdengar suara kertas yang ia teliti dan suara keyboard komputer yang kugunakan.

Tidak ada yang berminat untuk membuka suara untuk memulai percakapan.

Ya... sebenarnya aku minat. Banyak hal yang ingin kutanyakan. Tapi lagi-lagi ego dan gengsi seperti menelanku hidup-hidup.

Tapi sepertinya keheningan ini tidak akan berlangsung lama, dia terlihat sedikit kerepotan dengan berkas-berkas di tangannya.

Aku mencoba untuk mengesampingkan gengsiku dan mulai bersuara, "Perlu bantuan?"

Dia terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Iya, tolong."

"Tapi jangan yang kematian, ya?" kataku.

Dia tersenyum diikuti kekehan ringan. "Berdua, gimana?"

"Boleh."

Akhirnya kita- maksudku, aku dan dia mensejajarkan langkah dan mulai mencari berkas-berkas yang diinginkan.

"Apa kabar?" tanyanya mencoba memecahkan keheningan.

"Nggak lebih baik dari biasanya," jawabku jujur, mungkin terlalu jujur.

"Cie, sama dong."

Aku menatapnya heran dan menggeleng-gelengkan kepalaku pelan. "Masih aja konyol."

"Maaf, ya?"

Aku menatapnya tidak berminat.

"Maaf buat semuanya, aku punya—"

"Besok aja deh minta maafnya, suasana hatiku lagi bagus, jangan dirusak," potongku.

Dia melipat bibirnya dan mengangguk pelan. "Ke sebelah sana dulu, gimana? Cari tahun yang paling baru dulu," ajaknya.

"Beres," kataku yang kemudian melangkahkan kaki menuju satu sudut yang dia sebut.

"Gimana? Udah semua?" tanyaku memastikan.

"Satu lagi, tahun 2020, nomor aktanya ini," jawabnya sembari menunjukkan nomor yang ia maksud.

"Okay, ayo!" ajakku yang dibalas anggukan olehnya.

Aku kembali melanjutkan langkahku yang tentu saja diikuti langkahnya.

"Nah!" ucap kita secara bersamaan.

"Eh?"

Ah! Perkara kata 'eh' saja masih bersamaan.

"Bisa bareng gitu," ujarnya sembari mengusap tengkuknya pelan.

"Kebetulan aja," sahutku seadanya.

Tapi lagi-lagi aku dan pria di sampingku ini terkejut dan mematung seketika saat tanganku dan tangannya tidak sengaja bersentuhan.

Niat ingin mengambil berkas, malah masa lalu yang terlintas.

"Maaf, enggak sengaja," ujarnya.

"Itu berkasnya, dicek dulu," jawabku menghiraukan ucapannya.

Huft. Kenapa masih berdebar? Bukankah kemarin aku baru saja mempertimbangkan Mas Fahri dan Mas Seno? Kenapa sekarang debaran itu malah muncul lagi?

Aku seperti dipermainkan.

"NYEBELIN!" teriakku tiba-tiba.

Dia terlonjak kaget. Ya siapa yang tidak terkejut? Aku yang sedari tadi diam membiarkannya mengecek berkas tiba-tiba berteriak memaki.

Glasses ManWhere stories live. Discover now