Gila!

13 1 0
                                    

"Dek, kamu harus lihat ini!" ujar Mas Fahri sembari menyerahkan ponselnya.

"Ah, palingan juga Mas yang edit, kan?" elakku saat melihat sebuah foto dimana pria-ku sedang mengusap puncak kepala perempuan lain.

"Orang ada videonya, kok."

Aku membulatkan mataku tak percaya. Astaga——se-mesra itu?

"Udah, nggak usah ngamuk habis ini. Hari itu kamu juga meluk Mas, anggap aja kalian impas."

"TAPI MAS! INI MBAK DINA! D-I-N-A! SHE USED TO RUINED MY RELATIONSHIP WITH HIM!" protesku sembari meledak-ledak.

Mas Fahri mencomot bibirku menggunakan tangannya yang bau gorengan dengan biadabnya. "Ya——ini juga Mas Fahri, Dek, F-A-H-R-I. Kamu bukannya tau ya seberapa cemburunya Farlan sama Mas? Dan perihal meluk Mas hari itu, toh tetap kamu lakukan, dan secara sadar, kan?"

Aku terdiam kecurian kata. Bahuku melemas, dengan nelangsa aku kembali menyahut, "terus gimana?"

"Nggak gimana-gimana, lha mau gimana lagi?"

"Ya terus buat apa ngasih tau soal foto dan video tadi?!" sahutku dengan senewen.

"Info aja, sih. Barangkali mau tau, kan?"

"Fahri sialaannn!!!" makiku.

Mas Fahri kembali mencomot bibirku dengan tangannya yang sudah kubilang bau gorengan tadi. "Hush! Berani kamu ya sama orang tua?!"

"Orang utan!"

"Heh! Orang utan mana yang nggak suka pisang?!"

"Nih!" sahutku sembari menyodorkan kaca milikku tepat di depan wajah orang tua ini.

"Woo??!!! Sini kamu!!!"

Aku panik dan ingin bergegas lari sebelum kepalaku penyok karena mendapat ratusan jitakan dari Mas Fahri. Namun apa daya, usaha mengkhianati hasil, alih-alih berhasil melarikan diri——aku malah menabrak dada bidang sang kekasih yang telah ketahuan memadu kasih dengan perempuan lain. Ingat ya! Aku masih kesal!

Peduli setan dengan apa yang sudah kulakukan sama saja dengan apa yang pria berkacamata ini lakukan. Dia adalah milikku. Hanya milikku. Kalau mau, bayar dulu 50% sebagai DP, panggil sayang 50.000, usap kepala 100.000, berpelukan 150.000, begitu juga adegan selanjutnya.

Bercanda. Tidak dijual.

"Berduaan aja di arsip?" tanya——ah siapa lagi, kan?

"Nggak—"

"Biasanya kalau berduaan nanti yang ketiga itu setan," potongnya.

Sontak aku dan Mas Fahri saling bertukar pandang sebelum akhirnya menatap pria berkacamata itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.

"Bukan aku juga setannya!" protesnya yang sadar dan paham akan maksud tatapanku dan Mas Fahri.

Aku dan Mas Fahri hanya meresponnya dengan membulatkan bibir seolah melambangkan "O". Terkesan tak peduli, tapi sepertinya memang begitu adanya. Aku masih kesal, ingat? Dan Mas Fahri? Makhluk usil itu kan memang sensi terhadap pria berkacamata itu semenjak——tak tahu.

"O doang?"

"Ya terus apa? A? A for asik banget tuh kayaknya usap-usap kepala perempuan lain."

"Yiah!" celetuk Mas Fahri.

"B for bukannya hari itu kamu juga pelukan sama Fahri?" balas pria berkacamata itu.

"C for cie ribut nih," sahut Mas Fahri.

Fahri sialan!

"Udah, anggap aja impas, gimana?" lanjut Mas Fahri.

"Flory... aku jelasin aja, ya? Setelah itu terserah kamu mau percaya atau enggak, tapi aku harap kamu percaya," ujar pria berkacamata itu.

Aku mengangguk dan menunggu penjelasan yang sepertinya terdengar menjanjikan darinya.

"Tapi janji dulu, jangan marah."

"KOK LANGSUNG JANGAN MARAH?!" protesku tak terima.

Yang benar saja! Baru mulai sudah diminta untuk jangan marah?! Artinya penjelasan yang hendak ia berikan——100% akan membuatku marah, kan?!

"Tahun depan aku nikah sama Dina."

Hah? Pria ini sudah gila, ya? Iya, kan? Perasaan waktu itu dia yang——dia kan yang waktu itu sangat semangat membayangkan menikah denganku di masa depan? Lalu sekarang? Tiba-tiba sekali? Belum ada satu bulan kita berbaikan.

"Bentar, aku diskusi dulu sama Mas Fahri, sini Mas," ujarku sembari menarik Mas Fahri untuk agak menjauh.

"Bagusnya responku apa?" bisikku.

"Ya kamu sedih nggak?"

"Ya sedih, tapi kaget sih enggak terlalu, tapi pengen marah sih, tapi nggak marah banget, tapi kecewa sih, tapi——"

Ah, lagi-lagi tangan kotor itu mencomot bibirku agar diam. Bau!

"Kebanyakan 'tapi' kamu! Udah sana, bilang aja gini, 'dasar nggak tau malu! Udah dikasih kesempatan terakhir malah disia-siain lagi, sekolah bertahun-tahun tapi otaknya nggak ada, mikir dong! Dikira nggak sakit hati apa? Bisa-bisanya malah nyuruh jangan marah, siapa coba yang nggak marah kalau kayak gitu?' nah, gitu."

"Tambahin 'sinting' nggak?" tanyaku.

"Lebih lengkap lebih baik."

Tanpa basa-basi aku pun berbalik dan berjalan ke arah——emm aku harus menyebutnya apa, ya? Tiba-tiba aku membenci semua panggilanku untuknya.

Dengan tegas aku menunjuk wajahnya dsn berkata, "dasar nggak tau malu! Udah dikasih kesempatan terakhir malah disia-siain lagi, sekolah bertahun-tahun tapi otaknya nggak ada, mikir dong! Dikira nggak sakit hati apa? Bisa-bisanya malah nyuruh jangan marah, siapa coba yang nggak marah kalau kayak gitu? Sinting!"

Tak pernah kuduga, ternyata dia——si keparat itu malah tertawa. Benar-benar sudah gila, ya?

"Lucu banget, bukannya harusnya kamu udah sadar dan paham dari awal, ya? Mana mungkin aku se-serius itu sama kamu. Flory, kamu itu masih kecil, aku niatnya cuma senang-senang aja, kamu malah anggap serius. Dari awal, orang ketiganya bukan Dina, tapi kamu. Aku sama Dina udah jalan 2 tahun, kita backstreet. Jangan heran kalau nggak ada yang tau——"

"——udahlah, anggap aja angin lalu. Kamu juga pasti nggak se-serius itu, kan? Masih muda gitu kok," lanjutnya.

Sialan. Mulutnya minta dilakban, ya?! Badebah ini benar-benar tidak tahu malu!

"Sialan!"

Bugh!

Tidak, bukan Mas Fahri yang melakukannya. Aku. Bukan pukulan, hanya tendangan ringan pada aset berharganya yang entah berapa ukurannya itu.

"Kurang, masa cuma satu kali?" ujar Mas Fahri.

"Males, nanti sepatuku kotor." Aku pun meninggalkan arsip dan meninggalkan mereka berdua yang entah akan terjadi apa.

Aku tidak peduli.

____________________________________________________________________________________________

*sudut pandang orang ketiga*

"Saranku, kamu beneran nikah aja sama Dina. Dina juga lumayan, biar Flory sama aku," ujar Fahri dengan senyuman mengejek.

"Udah aku turuti apa maumu, Ri. Jadi, stop pemikiran gilamu tentang nyelakain Flory dan keluarganya. Aku nggak masalah kalau Flory benci aku setelah ini. Asalkan kamu——Fahri——Mas tersayangnya Flory yang dia pikir berhati malaikat padahal nyatanya nggak lebih dari seorang pengkhianat, nggak akan mengganggu hidup Flory dan keluarganya."

Fahri tersenyum puas. "Bagus! Ada untungnya juga kalau punya saingan yang bulol gini. Udah bucin, tolol lagi."

"Pegang janji kamu, Fahri. Jangan ganggu Flory dan keluarganya."

"Hmm... yaa..." Fahri pun melenggang keluar meninggalkan Farlan dengan perasaan puas akan kemenangan.

"Ya... kalau ingat... hahahaha!" ucap Fahri dalam hati.

Glasses ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang