Kembali lagi dan lagi

9 1 0
                                    

Tak kusangka pertemuan kita di minimarket waktu itu adalah pertemuan terakhir kita. Sudah lewat delapan bulan. Dan aku masih saja dihantui bayangnya bak kenangan yang tak akan bisa kulupakan. Padahal, tinggal hitungan beberapa minggu lagi sudah mau sembilan bulan, huh, seperti hamil saja.

Dialog terakhir kita waktu itu sekadar ucapan sampai jumpa yang biasa saja. Tangannya menjabat tangan Ibu, diiringi dengan senyuman manisnya yang kian menawan. Namun, tak ada adegan saling berjabat tangan di antara kita. Kita hanya saling mengangguk lugu dan tersenyum.

Setelah itu——selama delapan bulan ini——sesekali dia mengomentari postingan yang ku-upload di story, namun kubalas seperlunya. Aku tak ingin lagi terbawa perasaan dan suasana yang ia rekayasa sedemikian rupa. Awal pergantian tahun——ulang tahunku——tidak ada satu pesanpun yang ia kirimkan padaku. Padahal, saat ulang tahunnya waktu itu aku mengucapkannya, lengkap beserta doa dan harapan yang sangat indah. Aku kesal. Kuanggap saat itu juga aku harus melupakannya.

Tapi, sungguh, melupakannya adalah hal yang paling sulit untuk kulakukan. Sudah lewat delapan bulan dan aku masih saja belum terbiasa menjalani hari tanpa sosoknya. Sial. Sebenarnya apa yang hebat darinya sehingga membuatku mati-matian untuk sekadar melupakannya?

Ah, aku penasaran, apakah ia betul-betul sudah menikah tahun ini? Kalau iya, apa artinya aku tidak diundang? Ya... syukurlah, lagipula aku tidak akan mampu mengucapkan selamat disaat duka masih menjadi aroma yang pekat.

Mengingat pertemuan terakhir kita waktu itu terjadi di minimarket, aku jadi ragu setiap kali Ibu mengajakku untuk menemaninya berbelanja di tempat itu lagi. Entahlah, aku hanya takut kalau aku ikut aku akan kesulitan untuk melupakannya. Tapi, ternyata sama saja, ikut tidak ikut pun aku tetap kesulitan.

Maka, di sinilah aku——menemani Ibu berkeliling mengitari setiap sudut minimarket, entah mencari apa. Kali ini aku tidak mau mengusulkan berbagi tugas lagi. Tidak siap kalau sewaktu-waktu pertemuan terakhir itu terulang lagi.

"Bagi tugas aja," celetuk Ibu tiba-tiba.

"Nggak mauuu," rengekku.

"Kenapa, sih? Biar cepat selesai, kamu juga nggak akan hilang kalau cuma misah sama Ibu sebentar," ujar Ibu heran.

"Tapi, Ibu——"

"Shush, Ibu nggak mau dengar, nih, cari!" potong Ibu yang menyerahkan catatan belanjaan kepadaku.

Bahuku merosot lemas. "Iya..."

Dengan langkah gontai aku berpisah dengan Ibu dan berjalan menuju rak yang terdapat beberapa merk mie instan. Memindai cukup lama mencari jenis rasa yang Ibu tuliskan di catatan.

Ah, Ibu... kenapa jenis rasa yang Ibu mau berada di rak paling atas...? Anak gadismu ini tidak sampai. Tega sekali. Pasti sengaja!

"Tinggi banget! Hey, mie instan rasa soto, turun sendiri sini!" gerutuku seraya mencoba meraih barang yang kuinginkan.

"Makanya olahraga, minum susu, makan yang banyak," ujar seseorang yang mencoba membantuku dengan cara meraih mie instan yang sukar kugapai itu.

Oh, Tuhan! Aku sangat kenal suara ini.

"Selain bikin tambah tinggi karena membantu pertumbuhan, juga nggak bikin sering ngomong sendiri, apalagi ngomong sama mie instan. Delapan bulan nggak ketemu aku ternyata bikin kamu tambah unik begini, ya?" lanjutnya seraya memberiku beberapa bungkus mie instan.

Sial. Kenapa lagi-lagi kita bertemu dengan situasi yang sangat aneh dan memalukan seperti ini?! Terakhir kali, dia memergokiku berbicara pada angin, dan kali ini pada mie instan?! Mau ditaruh mana mukaku? Lubang suling? Sempit.

Glasses ManWhere stories live. Discover now