Bimbang

10 3 0
                                    

"Kemarin yang terakhir ya, Mas."

Mas Fahri menatapku bingung. "Maksudnya?"

"Kedepannya enggak usah belain aku lagi, apalagi sampai berantem gitu. Kemarin yang terakhir," ucapku mencoba menjelaskan.

"Kalau bukan Mas yang belain kamu, siapa lagi?"

"Ada Mas Seno. Mas Seno masih single, nggak akan yang ada salah paham kalau Mas Seno ngebelain aku."

Mas Fahri terdiam.

Entah betulan atau perasaanku saja, tertangkap isyarat kekecewaan dalam sorot matanya.

"Kamu masih mempermasalahkan persoalan cemburu kemarin, Dek?"

"Mana mungkin enggak? Mas udah berkeluarga, wajar kalau kita harus ada batasannya," jawabku.

"Kalau Mas bilang gara-gara berantem kemarin Mas dapat surat peringatan dari atasan, apa kamu bakalan menghindar lagi?"

Pertanyaan seperti itu bukannya sudah terlihat jelas jawabannya apa?

"Mas udah tau jawabannya apa, kan?"

"...aku nggak mau ngerusak rumah tangga orang lain," lanjutku.

"Jauh sebelum kamu datang juga rumah tangga Mas udah rusak. Kalau bukan karena anak-anak, Mas juga nggak akan sudi pura-pura rumah tangga Mas baik-baik aja."

Mataku membulat dengan sempurna dan segala aktivitas berhenti seketika.

"Mas nggak pernah cerita," ucapku hati-hati, merasa tidak enak.

Mas Fahri terkekeh pelan sebelum kembali bersuara, "Kalaupun Mas cerita, memangnya situasinya akan berbeda? Kamu tetep nggak mau sama Mas, kan? Rumah tangga Mas nggak jelas kayak gimana."

"Kata siapa nggak mau?"




***



Gila. Aku benar-benar gila.

Kenapa aku harus mengatakan kalimat bodoh seperti itu?! Bukankah malah memperkeruh suasana?! Tapi- AH! KENAPA HARUS ADA TAPI?!

Tapi, sejauh ini hanya Mas Fahri.

Hanya Mas Fahri yang selalu menerima segala keluh kesahku, yang mengerti suasana hatiku yang kerap kali berubah-ubah secepat kilat, yang selalu sigap dan siap setiap kali aku membutuhkan bantuan, yang selalu menerima segala opiniku yang terkesan keras kepala dan tak mau mengalah. Hanya Mas Fahri.

Tapi... keluarganya?

Apakah aku akan menjadi tokoh yang paling jahat dalam cerita mereka?

Ah, kenapa aku terlalu memikirkan kalimatku kemarin? Aku tidak serius mengucapkannya. Kalimat seperti itu hanya spontanitas saja, kan?

"Kenapa geleng-geleng kepala sendiri dari tadi?" ucap Mas Seno yang entah sejak kapan dia datang.

"Maaf oknum yang diajak berdialog sedang dalam keadaan bimbang, coba lagi lain kali."

"Dih, aneh banget, kenapa sih?" tanya Mas Seno.

"Mending mantan, suami orang, atau duda?"

"Mending pilihan ke-empat," ucap Mas Seno yang membuatku spontan mengernyitkan dahi bingung.

"Pilihannya cuma ada tiga, yang ke-empat siapa?"

Tanpa menjawab apapun, Mas Seno mengambil sepotong kertas dan bolpoin, kemudian menuliskan angka empat dan menempelkan kertas tersebut di dahinya.

"Ini," ucap Mas Seno.

Kok? Kok lucu banget?

"Dih," sahutku sembari mengalihkan pandanganku ke arah lain.

Aku mengalihkan pandanganku bukan karena bersemu atau salah tingkah atau semacamnya. Hanya menjaga pandangan saja, kok. Serius.

"Kamu sadar nggak kalau Fahri itu pengecut?" tanya Mas Seno tiba-tiba.

"Kenapa tiba-tiba bahas Mas Fahri, deh?"

"Tinggal jawab aja, sadar nggak?"

Aku menggelengkan kepalaku ragu.

"Fahri itu pengecut, begitu juga aku. Tapi semakin kesini, aku jadi berpikiran lain. Aku sama Fahri yang pengecut, atau kamu yang enggak peka?"

Waduh, kenapa tiba-tiba sekali? Aku kan belum latihan klarifikasi soal perasaanku.

Melihatku terdiam, Mas Seno terkekeh pelan dan bersuara, "Tapi kayaknya Fahri udah ambil langkah duluan, ya?"

"...kalau kamu mau tanya, kenapa sebelumnya Fahri ngomong seolah-olah dia lebih dukung kamu sama aku daripada sama Farlan, aku akan jawab kalau kamu mau janji satu hal," lanjutnya.

"Janji apa?" tanyaku.

"Apapun keadaan dan kenyataannya di akhir nanti, janji untuk enggak saling merasa bersalah dan saling membenci?"

"Mas ngomong kayak gitu seolah-olah udah tau aja apa yang akan terjadi nanti," ucapku.

"Mau janji?" tanyanya sekali lagi.

Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk.

"Jadi, kenapa?"

Mas Seno menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara, "Fahri waktu itu masih bimbang, dia bingung, dia beneran sayang sama kamu sebagai adik atau sebagai pria dan wanita pada umumnya."

"Terus?"

"Begitu juga aku. Tapi akhirnya kita sadar, ini bukan sekadar rasa sayang kepada adik, tapi lebih. Tapi kita main sehat, makanya aku biasa aja pas kamu lagi sama Fahri, begitu juga sebaliknya," jelasnya.

"Okay... terus kenapa aku harus janji hal tadi padahal jawaban Mas nggak begitu mengejutkan?"

Mas Seno menghembuskan napas pelan dan tersenyum tipis. "Janji tadi bukan untuk sekarang, tapi nanti, di akhir cerita cinta kita yang mungkin akan bercabang kemana-mana."

"Mas itu cuma terlalu khawatir akan suatu hal yang belum tentu terjadi. Kita nggak sedang dalam dunia novel, Mas, jangan dibuat rumit," ucapku.

"Mungkin sekarang kamu beranggapan demikian, tapi bukannya tanpa dibuat rumit pun kehidupan udah rumit dari sananya, ya?"

Ya.... memang, sih. Tapi kan hal itu bisa diurus nanti, akhir cerita akan tetap menjadi akhir cerita, kan? Bagaimanapun alur ceritanya, kalau akhirnya memang harus seperti itu kita bisa apa?

Toh, hidup tetap berjalan. Kita hanya perlu menjalaninya seperti biasa dan mencoba terbiasa, kan?

"Karena Mas tau hidup udah rumit dari sananya, apa aku bisa minta tolong satu hal?"

"Apa?"

"Apapun urusan kalian, yang bersangkutan dengan aku, tolong jangan berharap lebih,"

"...aku nggak lebih dari mawar yang berduri. Kalian yang nekad berusaha menggenggam mawar itu. Jadi, kalau duriku melukai kalian, itu bukan salahku, tapi kalian yang nggak mengindahkan peringatan," lanjutku.

Mas Seno tersenyum tipis. "Kamu masih mengharapkan Farlan, ya?"

Ah? Aku... tidak tahu. Aku hanya merasa bahwa ini semua belum betul-betul berakhir. Seperti ada yang janggal, mungkin?

Banyak tanda tanya yang selalu bermunculan di kepalaku setiap melihat pria berkacamata itu dari kejauhan.

Apakah memang ini yang dia mau? Apakah memang seperti ini akhirnya? Apakah kita benar-benar sudah kehilangan kita?
Apakah... dia bahagia?

Bukan ini yang ku mau, sungguh. Sosoknya yang kala itu hangat dan menenangkan selalu menghantui pikiran.

Walaupun saat ini dia sudah bukan dia yang ku kenal, kalau boleh jujur, aku merindukannya. Sangat merindukannya.

Bagaimana denganmu, pria berkacamata? Apakah sang pengganti sudah sepenuhnya merebut posisiku yang selalu ku jaga sekuat tenaga? Apakah tawamu yang indah sudah sepenuhnya menjadi miliknya?

Lidahku masih kelu untuk menyebut namamu. Aku masih sangat ingin menyebutmu sebagai priaku, tapi rasanya tidak mungkin. Kita semakin jauh.

Aku yang jatuh, aku juga yang runtuh. Sementara kau? Senyumanmu masih utuh.

Glasses ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang