Gara-gara Ibu!

7 1 0
                                    

Akhirnya, September berakhir. Terima kasih dan selamat tinggal. Tugasku sudah selesai.

Masih dengan lara yang terus saja menggerogoti hati, aku dengan mantap mengucap salam perpisahan untuk segala hal yang sudah pernah hadir mengisi hariku.

"Terima kasih, maaf, dan selamat," kataku.

Melihat pria di depanku dengan setia terdiam membuat perasaan sesak semakin menekanku tiap detiknya. Seolah tak memberiku izin untuk pergi melangkah, tangisku perlahan luruh, pelan namun menyesakkan.

"Aku sanggup datang ke pernikahan kalian, kalau kamu mau undang," kataku, lagi.

Dia masih diam. Entah halusinasi atau apa, aku menatap sorot matanya yang terlihat sangat menyedihkan. Tapi kenapa? Harusnya aku satu-satunya orang yang terlihat menyedihkan di sini, bukan dia.

Dia yang berkhianat.

"Kamu harus lebih bahagia, Flory, hiduplah dengan tenang. Jaga diri baik-baik, jangan mudah percaya sama orang lain sekalipun menurut kamu orang itu sangat baik," ujarnya setelah lama diam.

"Ya."

"Flory... hati-hati sama Fahri," ucapnya lirih.

Aku mengernyit tak paham. "Mas Fahri baik, yang ada buat aku waktu kamu nyakitin aku juga cuma Mas Fahri."

Aku menghela napas sejenak. "Terima kasih doa baiknya, aku mau pamit ke yang lain dulu. Aku duluan, Mas Farlan," lanjutku yang kemudian melenggang pergi meninggalkannya seorang diri di ruangan di mana dulu kita berbincang dan berkenalan untuk pertama kalinya.

Hah... berat rasanya melangkahkan kakiku untuk pergi. Tapi untuk apa lagi aku tetap di sini? Semuanya sudah berakhir dan tugasku sudah selesai.

Terasa pahit, tapi aku akan selalu merindukannya. Peduli setan aku terdengar seperti buta dan tuli akan kesalahannya. Aku memang marah dan kecewa, tapi kurasa——ia ada benarnya. Aku yang salah sedari awal.

Tak apa, aku hanya perlu membiasakan diri lagi mulai sekarang. Dari yang apa-apa selalu mengadu dan mengeluh padanya, menjadi membiasakan diri untuk kembali menjalani hari tanpa dirinya.

Tapi... dia akan baik-baik saja, kan? Ah, pertanyaan bodoh! Tentu saja dia baik-baik saja. Pria mana yang tidak baik-baik saja ketika ia akan segera menikah tanpa ada gangguan lagi dari orang ke-tiga?

Sialnya, entah mengapa aku mengkhawatirkannya. Apakah dia benar-benar baik-baik saja? Tapi sorot matanya tadi——ah, sudahlah, mungkin ia hanya merasa bersalah. Lagipula untuk apa aku peduli padanya? Dia saja tidak peduli denganku.

Semoga aku lekas pulih.

____________________________________________________________________________________________

"Bu, besok aku udah nggak ke sini lagi," ujarku sembari memakai helm dan menaiki jok penumpang.

Motor pun mulai melaju.

"Kenapa? Kamu nyolong?" tanya Ibu.

"Enak aja! Enggak lah. Tugasku udah selesai. Hari ini hari terakhir, Bu, sedih rasanya, tapi senang udah nggak disuruh-suruh lagi hihihi."

"Kalau kangen disuruh-suruh lagi, biar Ibu yang nyuruh-nyuruh kamu di rumah," ucap Ibu.

"Mana ada orang yang kangen disuruh-suruh," gerutuku.

Tin!

Seseorang mengklakson aku dan Ibu. Aku menoleh. Ternyata Mas Fahri. Kukira——ah, tidak.

"Siapa?"

"Mas Fahri, Bu, aku biasanya bantu kerjaan dia di depan," jelasku.

"Single?"

Glasses ManWhere stories live. Discover now