Selamat datang

4 1 0
                                    

Gemericik air dari luar rumah disertai dinginnya udara pagi yang dihiasi langit abu-abu membuatku terbuai dengan suasana sendu ditemani kopi buatan Ibu.

Tak terasa, Agustus berlalu.

Hari ini libur. Sebenarnya ini hal biasa, sunyi ketika Sabtu dan Minggu menghampiriku. Tapi kali ini lebih terasa.

"Selamat datang, September." Aku menghela napas sejenak kemudian kembali menyesap kopi.

Kuambil buku bersampul hitam yang biasa kutorehkan segala keluh kesah di hidupku. Tapi kali ini berbeda, aku sedang tak ingin menulis.

Bayangan paras indah dihiasi kacamata frame hitam dengan seragam coklat gagah sang pemilik hati hinggap di pikiranku.

Perlahan tapi pasti, kugoreskan pensil yang entah sejak kapan berada di dalam genggamanku. Jari-jariku menari dengan seirama dilengkapi pensil sebagai pijakan di atas kertas.

Indah.

Namun akan terlihat lebih indah lagi jikalau– ah tidak jadi.

Pintu kamar terketuk. Aku merapikan segala hal yang ada di depanku walaupun sebenernya yang berantakan adalah hatiku.

"Masuk aja," kataku.

Pintu terbuka. Ibu menampakkan diri dan masuk kedalam.

"Dicari," ucap Ibu.

Aku mendengus. "Lagi?"

"Bu, Flory kan udah bilang usir aja. Ibu tega lihat anak gadisnya diganggu setiap harinya sama laki-laki yang terobsesi sama anak Ibu ini?" lanjutku.

"Apa salahnya kamu temui dan bicara baik-baik? Siapa tau ada jalan tengah."

"Kita udah selesai dari lama, Bu. Harusnya aku udah hidup tenang dari lama tanpa gangguan dari laki-laki itu," jawabku.

"Karakter orang yang seperti itu harus disikapi dengan cara yang halus, Nak."

"Ibu pikir selama ini aku ngapain? Dari cara yang paling halus hingga paling kasar juga udah aku lakuin. Tapi hasilnya apa? Nihil. He's mental, Bu. Aku risih," ujarku.

"Lain kali lebih pintar memilah dan memilih," ucap Ibu sebelum akhirnya keluar dan menutup pintu.

Kutatap pintu kamarku dengan nanar. Rasa takut dan remuk berkecamuk. Ah, rasanya ingin menangis.

Kuraih ponselku untuk menelepon seseorang. Sayang, tidak ada jawaban.

Aku beralih untuk mengetikkan sebuah pesan.

Mas Farlan

Mas Farlan?
Baru sibuk? Aku pengen cerita.
Delivered

Selang sepuluh menit, pesanku juga tak kunjung berbalas. Kemana pria itu?

Ah sudahlah, tak ingin terlalu memikirkannya. Lebih baik aku menonton film hingga tertidur.

Tatkala sibuk memilih judul apa yang akan kutonton, ponselku berdering. Ah, priaku. Angkat tidak, ya? Aku belum selesai memilih judul tahu.

"Halo sayang? Mau cerita apa?" ucapnya dari seberang sana, entah dimana.

"Mantanku datang lagi, Mas."

"Ya ditemuin dulu kan nggak apa-apa, ajak Bapak Ibu biar dia nggak berani macam-macam."

"Takut."

Dia menghela napas. "Iya... dicoba dulu, kan ditemenin juga sama Bapak Ibu. Kalian bicarakan baik-baik dulu, diselesaikan dulu. Bagi kamu mungkin memang udah nggak ada yang perlu dibicarakan lagi, tapi bagi dia?"

Glasses ManWhere stories live. Discover now